Sabtu, 30 April 2011

Kita Sehati


Kita boleh menjejakkan kedua telapak kaki ini bersama-sama,
mengatur ritme perjalanan agar senada,
mengukur tingkat kesyukuran dengan senyuman yang kita punya,
mulai berusaha menjelang sang fajar menyapa,
hingga nanti mentari pagi datang pula,
dalam wajahnya nan ceria,
bersama kita menantinya,
berteman bahagia,

Wahai mentari hati,
teruslah berbagi,
sebagai bukti eksistensi,
dalam kehidupan dunia ini,
agar ia tak hanya sekadar mimpi,
namun telah terlaksanai,
ya, kita menjalani dengan sepenuh hati,
menikmati....
seperti suasana pagi ini,
di sini,

Wahai sahabat hati,
ai...!
indahnya hari demi hari,
semakin berseri-seri,
di dalam naungan Illahi,
ingiiin sangat dapat terus berbagi,
di jalan ini,
yang sedang kita tempuh detik ini,
harap bersua denganmu wahai sahabat hati,
sesegera mungkin di dunia ini,
dalam waktu yang terus mengelilingi,
untuk kita isi,
dengan jejak-jejak diri,
hingga nanti kita pun kembali,
ke kampung halaman abadi,
nan telah lama menanti,
merindui,
seperti yang kita alami kini,
yuuks kita saling mensupport, mengingatkan, menyemangati,
meski jarak masih membatasi,
namun saat hati kita bersemi,
jarak bukanlah satu alasan pasti,
untuk tidak saling mengingati,
karena kita teman sejati,

Wahai sahabat hati
ku ukir senyuman saat ini,
untukmu... ya, untukmu... ai!
:D

Dari Kebun
Oleh : Kebun Iman

Kamis, 07 April 2011

CINTA LAKI-LAKI BIASA

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman
Nania. Mereka ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan
surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang
duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru
saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.

Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya
sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan
di otak melebihi kapasitas.

Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari
sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan
enyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak
jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia
menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus
adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu
saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang
tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi
ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga
membawa serta buntut mereka.

"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di
wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan
gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa
lucunya jika Rafli memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya
tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang
paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa
barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak
sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang
mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang
duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama
mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan
nada penuh wibawa,

"maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun,
tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima.
"Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu
paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu
bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu
meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar
biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia
kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub
dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata
'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata
mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya
bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium
empat. Parah.

"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka
matanya.

"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!" Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan
seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan
membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak
tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya
fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak
'luar biasa'.

Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang
telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur
duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di
sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.
***

Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih
sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa
sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania
masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan
Rafli agar tampak dimata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli,
begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari
sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni
Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu
sangat bahagia.

"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta
Rafli pada Nania."

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata
mereka terlihat tak percaya.

"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"

"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga
pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya
kehidupan sukses!"

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.
Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak
boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu
argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan
kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung
mendapatkan suami seperti Rafli.

Lagi-lagi percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses,
mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk
menghidupimu."

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.
Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi
punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak
juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki
dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan.
Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin
setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak
perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup
senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya
untuk tidak terlalu memforsir diri.

"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan
dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi
dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa
besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.

"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan
lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik
menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania
cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari
keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan
biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat
biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak
penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di
kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah,
rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan
Nania memiliki suami terbaik di dunia.

Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di
kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik
saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang
pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek
tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia
yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum
bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania
mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak
sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania
menangis.

***


Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah
lewat dua minggu dari waktunya.

"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua,
Nania. Harus segera dikeluarkan!"

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan
menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu
merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya
normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera
melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di
rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu
meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara
kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan
jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan
tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit
sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit.
Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.

"Baru pembukaan satu."
"Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat
jam kemudian menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster
terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang
tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.
Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah,
mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran
akan mengikuti setelah ketuban pecah.
Perkiraan mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur
karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi
ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua kehidupan.

"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali
pusar." Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi
kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir
kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan
genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi.

Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba
putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia
tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu.
Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam
perahu
yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya
naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat
menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah
cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan
diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa
menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan
zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania
mendekat.

"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap,
berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan
entah bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu
lama sekali.

Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil
menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.
Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas
yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak
bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti
kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***


Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli
bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus
membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak.
Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi
itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga
daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah
oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke
rumah dan melihat perkembangan si kecil.

Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara
pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat
anak-anak di rumah.

Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi
Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.
Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat
telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang
perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk
sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan
sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa
merasakan kehadirannya.

"Nania, bangun, Cinta?"

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil
mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai
pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih
berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji
dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.

Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania
ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.

Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak
bosan-bosannya berbisik,

"Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi
soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata
kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi
sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi
Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya.

Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak
wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang
semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias
perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening,
serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang
cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania
sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama
ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam
tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya,
mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli
membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali
dalam doa.

Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama
sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania,
lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu.
Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke
teras, melihat senja datang sambil memangku Nania
seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik
sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan
cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania
selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania
mengatakan itu tak perlu.

Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak
kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya
pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling
cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata
Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga
jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu
menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang
sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan
pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang
menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang
berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.

Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga,
sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi
pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh,
semua
berbisik-bisik.

"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun
tak pernah bermuka masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga
orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat
Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu
kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap
berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu
begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini
berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain
basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut
tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania
menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak
dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan
yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi
sama karena usia, meski karir telah direbut takdir
dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa
dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk
Nania.

Karya ::: Asma Nadia

Minggu, 03 April 2011

Aku menangis untuk adikku 6 kali

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? …
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.

Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan
menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.” Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?

Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan
air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17tahun. Aku 20tahun.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.


Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.