Sabtu, 31 Maret 2012

Rabi'ah bin Ka'ab, Sahabat yang Rendah Hati


Di usia muda, jiwanya sudah cemerlang dengan cahaya iman. Hatinya dipenuhi pengertian dan pemahaman tentang Islam.

Pertama kali berjumpa dengan Rasulullah saw, ia langsung jatuh cinta dan menyerahkan seluruh jiwa raganya; menjadi pendamping beliau. Kemana pun beliau pergi, Rabi'ah bin Ka'ab selalu berada di sampingnya.

Rabi'ah melayani segala keperluan Rasulullah sepanjang hari hingga habis waktu Isya' yang terakhir. Bahkan lebih dari itu, ketika Rasulullah hendak berangkat tidur, tak jarang Rabi'ah mendekam berjaga di depan pintu rumah beliau. Di tengah malam, ketika Nabi SAW bangun untuk melaksanakan shalat, seringkali ia mendengar beliau membaca Al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw, jika seorang berbuat baik kepadanya, maka beliau pasti membalasnya dengan lebih baik lagi. Begitulah, beliau membalas kebaikan Rabi'ah dengan kebaikan pula.

Pada suatu hari beliau memanggilnya seraya berkata, "Wahai Rabi'ah bin Ka'ab, katakanlah permintaanmu, nanti kupenuhi!"

Setelah diam sejenak, Rabi'ah menjawab, "Ya Rasulullah, berilah saya sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu, akan kuberitahukan kepada Anda."

"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.

Rabi'ah bin Ka'ab adalah seorang pemuda miskin, tidak memiliki keluarga, harta dan tempat tinggal. Ia menetap di Shuffatul Masjid (emper masjid), bersama-sama dengan kawan senasibnya, yaitu orang-orang fakir dari kaum Muslimin. Masyarakat menyebut mereka "dhuyuful Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila ada yang memberi hadiah kepada Rasulullah, maka biasanya beliau memberikannya kepada mereka. Rasulullah hanya mengambil sedikit saja.

Dalam hati, Rabi'ah bin Ka'ab ingin meminta kekayaan dunia agar terbebas dari kefakiran. Ia ingin punya harta, istri, dan anak seperti para sahabat yang lain. Namun, hati kecilnya berkata, "Celaka engkau, wahai Rabi'ah bin Ka'ab! Kekayaan dunia akan lenyap. Mengapa engkau tidak meminta kepada Rasulullah agar mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu?"

Hatinya mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya mohon agar engkau mendoakan kepada Allah agar menjadi temanmu di surga."

Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?"

"Tidak, ya Rasulullah. Tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaanku," jawab Rabi'ah bin Ka'ab mantap.

"Kalau begitu, bantulah aku dengan dirimu sendiri. Perbanyaklah sujud," kata Rasulullah.

Sejak itu, Rabi'ah bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntungannya melayani beliau di dunia. Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW memanggilnya. "Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi'ah?" tanya beliau.

"Saya tak ingin ada sesuatu yang menggangguku dalam berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, saya tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup berumah tangga," jawab Rabi'ah.

Rasulullah diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau memanggil Rabi'ah kembali seraya bertanya, "Apakah engkau tidak hendak menikah, ya Rabi'ah?"

Dan Rabi'ah kembali menjawab seperti seperti semula. Hingga ketiga kalinya Rasulullah memanggil dan bertanya serupa. Rabi'ah menjawab, "Tentu, ya Rasulullah. Tetapi, siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti yang Anda maklumi."

"Temuilah keluarga Fulan. Katakan kepada mereka bahwa Rasulullah menyuruhmu kalian supaya menikahkan anak perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau."

Dengan malu-malu Rabi'ah datang ke rumah mereka dan menyampaikan maksud kedatangannya. Tuan rumah menjawab, "Selamat datang ya Rasulullah, dan dan selamat datang utusan Rasulullah. Demi Allah, utusan Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah hajatnya terpenuhi!"

Rabi'ah bin Ka'ab kemudian menikah dengan anak gadis tersebut. Dan Rasulullah juga menghadiahkan sebidang kebun kepadanya, berbatasan dengan kebun Abu Bakar Ash-Shiddiq. Suatu ketika, Rabi'ah sempat berselisih dengan Abu Bakar mengenai sebatang pohon kurma. Rabi'ah mengaku pohon kurma itu miliknya, sementara Abu Bakar juga mengakui hal yang sama.

Ketika perselisihan memanas, Abu Bakar sempat mengucapkan kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah sadar atas ketelanjurannya mengucapkan kata-kata tersebut, Abu Bakar menyesal dan berkata kepada Rabi'ah, "Hai Rabi'ah, ucapkan pula kata-kata seperti yang kulontarkan kepadamu, sebagai hukuman (qishash) bagiku!"

Rabi'ah menjawab, "Tidak! Aku tidak akan mengucapkannya!"

"Akan kuadukan kamu kepada Rasulullah, kalau engkau tidak mau mengucapkannya!" kata Abu Bakar, lalu pergi menemui Rasulullah SAW.

Rabi'ah mengikutinya dari belakang. Kerabat Rab'iah dari Bani Aslam berkumpul dan mencela sikapnya. "Bukankah dia yang memakimu terlebih dahulu? Kemudian dia pula yang mengadukanmu kepada Rasulullah?" kata mereka.

Rabi'ah menjawab, "Celaka kalian! Tidak tahukah kalian siapa dia? Itulah "Ash-Shiddiq", sahabat terdekat Rasulullah dan orang tua kaum Muslimin. Pergilah kalian segera sebelum dia melihat kalian ramai-ramai di sini. Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak membantuku dalam masalah ini sehingga dia menjadi marah. Lalu dalam kemarahannya dia datang mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah karena kemarahan Abu Bakar. Kemarahan mereka berdua adalah kemarahan Allah. Akhirnya, aku yang celaka?"

Mendengar kata-kata Rabi'ah, mereka pun pergi. Abu Bakar bertemu dengan Rasululah SAW dan menuturkan apa yang terjadi. Rasulullah mengangkat kepala seraya bertanya pada Rabi'ah, "Apa yang terjadi antara kau dengan Ash-Shiddiq?"

"Ya Rasulullah, beliau menghendakiku mengucapkan kata-kata makian kepadanya, seperti yang diucapkannya kepadaku. Tetapi, aku tidak mau mengatakannya," jawab Rabi'ah.

Kata Rasulullah, "Bagus! Jangan ucapkan kata-kata itu. Tetapi katakanlah, semoga Allah mengampuni Abu Bakar!"

Rabi'ah pun mengucapkan kata-kata itu. Mendengar kata-kata Rabi'ah, Abu bakar pergi dengan air mata berlinang, sambil berucap, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Rabi'ah." Mereka pun hidup rukun kembali.


Jagalah Lisan Kita Ukhti

Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terlimpah kepada kita tiada terbilang hingga kita tidak mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian ingin menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim: 34)

Dia Yang Maha Suci juga berfirman:
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Dan Dia telah mencurahkan nikmat-Nya yang lahir dan yang batin kepada kalian.” (Luqman: 20)

Di antara sekian banyak nikmat-Nya adalah lisan atau lidah yang dengannya seorang hamba dapat mengungkapkan keinginan jiwanya.
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata, lisan, dan dua bibir?” (Al-Balad: 8-9)

Dengan lisan ini, seorang hamba dapat terangkat derajatnya dengan beroleh kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, ia juga dapat tersungkur ke jurang jahannam dengan sebab lisannya. Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 6478)

Dalam hadits yang lain disebutkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406, 7407)

Dalam riwayat Muslim:
أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“…lebih jauh daripada antara timur dan barat.”
Yang disesalkan dari keberadaan kita, kaum hawa, sering menyalahgunakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa lisan ini. Lisan dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan sehingga keluar darinya kalimat-kalimat yang membinasakan pengucapnya. Ghibah, namimah, dusta, mengumpat, mencela dan teman-temannya, biasa terucap.

Terasa ringan tanpa beban, seakan tiada balasan yang akan diperoleh. Membicarakan cacat/cela seseorang, menjatuhkan kehormatan seorang muslim, seakan jadi santapan lezat bagi yang namanya lisan.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
الْـمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْـمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan, “Kaum muslimin selamat dari lisannya di mana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat mereka, tidak mengghibah dan menyebarkan namimah di antara mereka, tidak menyebarkan satu macam kejelekan dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar menahan lisannya. Menahan lisan ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit bagi seseorang. Sebaliknya, begitu gampangnya seseorang melepas lisannya.”

Beliau rahimahullahu juga menyatakan, “Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar bahayanya bagi seseorang. Karena itulah, bila seseorang berada di pagi harinya maka anggota tubuhnya yang lain, dua tangan, dua kaki, dua mata dan seluruh anggota yang lain mengingkari lisan. Demikian pula kemaluan, karena pada kemaluan ada syahwat nikah dan pada lisan ada syahwat kalam (berbicara). Sedikit orang yang selamat dari dua syahwat ini.

Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah, tidak berbuat namimah dan tidak menebarkan permusuhan di antara manusia. Dia adalah orang yang memberikan rasa aman kepada orang lain. Bila ia mendengar kejelekan, ia menjaga lisannya. Tidak seperti yang dilakukan sebagian manusia -wal ‘iyadzubillah- bila mendengar kejelekan saudaranya sesama muslim, ia melonjak kegirangan kemudian ia menyebarkan kejelekan itu di negerinya. Orang seperti ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya).” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/764)

Lisan yang berpenyakit seperti ini banyak diderita oleh kaum hawa, sehingga mereka harus banyak-banyak diperingatkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara lisan mereka. Ketahuilah, karena bahayanya lisan bila tidak dijaga oleh pemiliknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjamin surga bagi orang yang dapat menjaga lisan dan kemaluannya.

Sahl bin Sa’d radhiyallhu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yaitu lisan)1 dan apa yang ada di antara dua kakinya (yaitu kemaluan)2 maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)
 
Bila engkau tidak dapat berkata yang baik, maka diamlah niscaya itu lebih selamat.
Karenanya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim)

Al-Imam Al-Hakim rahimahullahu meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallhu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke bibirnya dan berkata:
الصُّمْتُ إِلاَّ مِنْ خَيْرٍ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذٌ: وَهَلْ نُؤَاخَذُ بِمَا تَكَلَّمَتْ بِهِ أَلْسِنَتُنَا؟ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَخِذَ مُعَاذٍ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُعَاذُ، ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ -أَوْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ مِنْ ذَلِكَ- وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ فِي جَهَنَّمَ إِلاَّ مَا نَطَقَتْ بِهِ أَلْسِنَتُهُمْ؟ فَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ عَنْ شَرٍّ، قُوْلُوْا خَيْرًا تَغْنَمُوا وَاسْكُتُوْا عَنْ شَرٍّ تَسْلَمُوْا
“Diamlah kecuali dari perkataan yang baik.” Mu’adz bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul paha Mu’adz, kemudian bersabda,
“Wahai Mu’adz, ibumu kehilangan kamu3″, atau beliau mengucapkan kepada Mu’adz apa yang Allah kehendaki dari ucapan. “Bukankah manusia ditelungkupkan di atas hidung mereka ke dalam jahannam tidak lain disebabkan karena apa yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka? Karenanya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata baik atau ia diam dari berkata yang jelek. Ucapkanlah kebaikan niscaya kalian akan menuai kebaikan dan diamlah dari berkata yang jelek niscaya kalian akan selamat.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/460)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menasihatkan, “Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau satu kalimat, ia merenungkan dan memikirkan kata/kalimat tersebut dalam jiwanya sebelum mengucapkannya. Bila memang tampak kemaslahatan dan kebaikannya maka ia berbicara. Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan lisannya.” (Al-Minhaj, 18/318)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/339-340) menukilkan ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu berkata, “Siapa yang banyak bicaranya akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallhu ‘anhu memegang lisannya dan berkata, “Ini yang akan mengantarkan aku ke neraka.”
Ibnu Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk dipenjara dalam waktu yang panjang daripada lisan.”

Ingatlah saudariku, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menukilkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhuma tentang ayat di atas, “Malaikat itu mencatat setiap apa yang diucapkannya berupa kebaikan ataupun kejelekan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/308)

Ingatlah, semuanya tercatat dan tersimpan dalam catatan amalmu. Maka berbahagialah engkau bila catatan amalmu dipenuhi dengan kebaikan, ucapan yang baik dan amal shalih. Tentunya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa surga kan menanti…

Sebaliknya celaka engkau bila catatan amalmu dipenuhi ucapan kosong, sia-sia lagi mengandung dosa dan amal yang buruk. Tentunya ancaman neraka menanti…
Bila demikian keadaannya ke mana engkau hendak menuju, ke surga ataukah ke neraka? Tentu tanpa ragu engkau ingin menjadi penghuni surga.

Maka, jangan biarkan lisanmu menggelincirkanmu ke dalam jurang kebinasaan yang tiada bertepi.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sumber : http://asysyariah.com

  

Lunas Dengan Segelas Susu


Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar.

Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Walaupun rumah yang dia kunjungi merupakan rumah sederhana dan boleh dibilang miskin.
Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.

Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.

Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, "berapa saya harus membayar untuk segelas susu ini ?"

Wanita itu menjawab: "Kamu tidak perlu membayar apapun". "Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan" kata wanita itu menambahkan.

Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :" Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda."

Belasan tahun kemudian, wanita muda yang telah berusia lanjut tersebut mengalami sakit yang sangat komplek dan kritis. Para dokter di kotanya itu sudah tidak sanggup menanganinya.

Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.

Dr. Howard Kelly dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dokter Kelly.

Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut.

Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu. Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan.. . Wanita itu sembuh !!. Dr. Kelly meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan.

Dr. Kelly melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.
Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicil seumur hidupnya.

Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatuannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi..

"Telah dibayar lunas dengan segelas susu.." tertanda, DR Howard Kelly.

Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa: "Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dan tangan manusia."
  

Jumat, 30 Maret 2012

Bila Tirai Itu Telah Terbuka

 
Di suatu sore di hari hujan, ada seorang Al-ukh yang sedang bersandar pada dinding putih di sebuah lorong yang memanjang, sebuah mushaf hitam yang sedang ia pegang terbuka sedangkan matanya seakan tak fokus pada mushafnya, sesekali ia menengok ke kanan dan ke kiri, lalu ia menunduk membaca Kitab Al-Qur’an dengan mata yang berkaca-kaca dan mulai larut pada surat cinta Rabbnya. Butir-butir air mata kristal jatuh dari kedua ujung matanya… Ia masih tetap menunggu seseorang yang tak kunjung datang itu. Akhirnya seorang teman mendekatinya.

“Assalamu’alaikum ukh, sedang apa?? Kok sendirian aja?” Sapanya
“Wa’alaikumsalam, sedang menunggu seseorang ukh, tapi sepertinya ia tak datang”. Tuturnya dengan wajah sedih.

Setelahnya ia memeluk temannya begitu erat, dan Al-ukh menangis sesegukan.
Sang teman membalas pelukannya lebih erat dalam diamnya. Rupanya sang teman sudah mengetahui sebab kegundahan saudarinya. Sebuah fitnah, berpuluh-puluhan justifikasi serta sikap tak bersahabat orang-orang di sekitar Al-ukh ini lah yang membuatnya tak tega. Hanya karena ia melakukan setitik kesalahan. Ibarat kertas putih yang di goreskan sebuah titik hitam oleh pena, maka semua orang akan melihat kearah titik hitam itu bukan ke bagian putihnya.
Sang teman menghiburnya dengan berkata “Ukh bersabarlah, suatu hari ketika Allah membukakan tirai atas mu, maka saat itu juga mereka akan meminta maaf kepadamu dengan hati yang sangat bersalah, karena begitu banyak kebaikanmu yang tersembunyi itu tak mampu dihapuskan hanya dengan setitik kesalahan yang pada awalnya adalah maksud baikmu kepada mereka. Sambil memeluk Al-ukh lebih erat.
Pandangan mata selalu menipu. .
Pandangan akal selalu tersalah. .
Pandangan nafsu selalu melulu. .
Pandangan hati itu yang hakiki. .
Kalau hati itu bersih. .
Hati kalau selalu bersih. .
Pandangannya akan menembus hijab. .
Hati jika sudah bersih. .
Firasatnya tepat karena Allah. .
Tapi hati bila dikotori. .
Bisikannya bukan lagi kebenaran. .
Tapi hati bila dikotori. .
Bisikannya bukan lagi kebenaran. .
Hati tempat jatuhnya pandangan Allah. .
Jasad lahir tumpuan manusia. .
Utamakanlah pandangan Allah
Dari pada pandangan manusia. .
(Snada, Pandangan Mata)
Begitu banyak keterbatasan manusia, hingga dengan mudah ia menjustifikasi seseorang itu baik atau buruk. Padahal, hanya panca indra tumpuan mereka.
Dalam sebuah hadits di katakan:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta-harta kamu tapi melihat hati dan perbuatanmu.” (H.R. Muslim).

Al Qurtubi berkata, “Ini sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak diperbolehkannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau perbuatan menyimpangnya. Ada kemungkinan di balik pekerjaan saleh yang lahiriah itu, ternyata di hatinya tersimpan sifat atau niat buruk yang menyebabkan perbuatannya tidak sah dan dimurkai Allah swt. Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat teledor dalam perbuatannya ternyata di hatinya terdapat sifat terpuji yang karenanya Allah SWT memaafkannya.

Alangkah lebih bijak bila manusia melibatkan hatinya dalam berkehidupan di dunia. Karena hati yang bersih itu dapat membuka tirai-tirai yang menutupi atas sesuatu. Sehingga firasatnya tepat karena Allah. Tentunya bila hati itu bersih, apa yang tersampaikan adalah kebenaran. Bila hati itu bersih maka yang tersampaikan adalah kesantunan bahasa sehingga tak menggoreskan luka di hati saudarinya.

Pancaran bersih hati lainnya akan tampak terealisasikan pula dari struktur bibir atau senyuman. Pastilah kita akan senang kalau melihat orang lain senyum kepada kita dengan tulus, wajar dan proporsional. Dan senyum itu bukanlah perkara mengangkat ujung bibir — itu perkara tipu-menipu — tapi yang paling penting adalah keinginan dari dalam diri untuk membahagiakan orang yang ada di sekitar kita, minimal dengan senyuman. Dan tentu saja dilanjutkan dengan sapaan tulus, ucapan salam “Assalaamu’alaikum”, timbul dari hati yang ikhlas, insya Allah ini akan membuat suasana menjadi lebih enak, tenteram, dan menyenangkan.

“Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun kembali bersinar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sejatinya dalam sebuah hati itu terdapat sebuah awan seperti yang dikatakan hadits tersebut. Ada saatnya ia tertutup awan dan ada kalanya ia bercahaya. Maka hati yang bersih senantiasa akan bersinar, sinarnya akan menerangi akhlakmu dan menerangi tiap langkahmu.

Namun, Hati itu mudah terbolak-balik, semudah kita membalikkan telapak tangan, mungkin lebih mudah dari itu. Maka berdoalah kepada Allah Sang Maha Pembolak-Balik Hati Manusia, agar senantiasa hatinya di balikkan kearah kebaikan.  Agar Allah membukakan tirai-tirai yang menutupi atas suatu perkara, sehingga yang kita lihat adalah kebenaran.
“Syahr bin Hausyab RA mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah, “Wahai ibu orang-orang yang beriman, doa apa yang selalu diucapkan Rasulullah SAW saat berada di sampingmu?” Ia menjawab: “Doa yang banyak diucapkannya ialah, ‘Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (Wahai yang membolak-balikkan qalbu, tetapkanlah qalbuku pada agama-Mu).” “Ummu Salamah melanjutkan, “Aku pernah bertanya juga, “Wahai Rasulullah, alangkah seringnya engkau membaca doa: “Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika.” Beliau menjawab: “Wahai Ummu Salamah, tidak ada seorang manusia pun kecuali qalbunya berada antara dua jari Tuhan Yang Maha Rahman. Maka siapa saja yang Dia kehendaki, Dia luruskan, dan siapa yang Dia kehendaki, Dia biarkan dalam kesesatan.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Hadanallahu waiyyakum ajma’in, wallahu a’lam bi showab

Agar Pernikahan Membawa Berkah

Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka
ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a
keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah
memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan
kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang
mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak
keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak
fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga
setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di
kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam
pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat
materil ataupun non materil.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari
permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu
dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat
beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya
sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak
membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah
berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya
orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi
wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin
sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam
berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam
aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi
keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam
kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung
dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home)
tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba.
Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah
tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga
sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi
(muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten
(istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap
mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan
biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT
sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai
sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS.
An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan
merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam
salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk
menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku”
(HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah
Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi)
pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh
Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih
mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya
(kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi
pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang
berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi
bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga
pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan
akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.

Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya
seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap
zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan
pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan
yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang
menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan
keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim
teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala
aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu
menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya
keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud
komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu
adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun
harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran
(fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga
masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian
suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di
antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala
hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat
dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki
kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian
(seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka
suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha
memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat
artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.

Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara
suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya
suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang
secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan
kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan
apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri,
begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk
memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3
(tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika
memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun
tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah
untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini
belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan
kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang
berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan”
kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk
memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam
kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang
tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan
jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri
atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan
kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian
(empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah
menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan
malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam
interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone,
email, dsb.

Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu
berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam
QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi
yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan
bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan
keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap
tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal
kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut
dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan
seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana
sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala
menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk
menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung,
tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut
perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri,
tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami,
anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak
yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika
hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati,
bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang
menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran.
Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima
kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai
satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah
dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita
kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya
kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental
(asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak
berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas
Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih
banyak keberkahan.

Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan
berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni
neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada
suaminya.

Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami
seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu
membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal
dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan
anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal
masa depan yang harus dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan
semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan.
Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan
dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga
menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu
mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan
pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap
dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.

Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang
sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan,
sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS.
Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS.
Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan
yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang
memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah
yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang
diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah
(muqiimash-sholat).

Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki
muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan
guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan
baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian,
dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)

Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman,
maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur
dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw
menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang
paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam
interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang
nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk
perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana
untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan
semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah
tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara
suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana,
sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta
kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang
mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia
akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat
mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan
secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul
amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan
beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih
merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila
muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri
dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada
anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga
kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari
kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun
bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)

Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati
(kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28.
“Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”.
Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi
oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada
Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan
Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar
dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu
memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal
quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam
dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam
segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah
dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus
dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan
keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan
dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq,
do’a, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat
menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh
anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa
dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup
berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan
yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu
tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah
bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita
sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah,
yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan
yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan
yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar,
silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak
keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang
dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah
menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi
hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di
dunia ini sebagai cobaan.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat,
dalam wujtd dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita
dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan
memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk
kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu
digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka
dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari
pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).

Inilah keberkahan yang hakiki.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/ 


Selasa, 06 Maret 2012

Bercermin Diri


Sahabatku,

Dalam keseharian kehidupan ini, kita seringkali melakukan aktivitas bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap, itu-itu juga, aneh bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan, kita selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya, kurang lebih karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.

Hanya saja, jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya topeng yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isi dari topeng yang kita pakai ini. Yaitu diri kita sendiri.
 
Sahabatku,

Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara jahannam?"

Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata ini  yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap Allah yang Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama ini?"

Lalu tataplah mulut ini, "Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thayibah, 'laaillaahaillallaah', ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akhirat akan memakan buah zakum yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!"

"Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Betapa banyak kata-kata yang manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Allah mengampunimu?"

Sahabatku,

Tataplah diri kita dan tanyalah, "Hai kamu ini anak shaleh atau anak durjana? Apa saja yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini? Dan apa yang telah engkau berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya?! Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!"

"Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar membara jahannam tanpa ampun dengan derita tiada akhir?"

"Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau rampas?"

"Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?"

Sahabatku,

Ingatlah amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikkan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini? Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu"

"Apakah engkau ini shaleh atau shalehah seperti yang engkau tampakkan? Khusyu-kah shalatmu, zikirmu, do’amu, ...ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!"

Sungguh  betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi. Betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi!  

Sahabat-sahabat sekalian,

Sesunguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.***

(Sumber : Jurnal MQ Vol.1/No.1/Mei 2001)