Engkau ingin berjuang, tapi tidak mampu menerima ujian, rusak oleh pujian, tidak sepenuhnya menerima pimpinan dan tidak begitu setiakawan
Engkau ingin berjuang, tapi tidak sanggup berkorban, tidak sanggup terima cobaan dan hanya ingin jadi pemimpin agar pengikut menjadi agak segan
Engkau ingin berjuang, tapi kesehatan dan kerehatan tidak sanggup engkau korbankan dan waktu tidak sanggup engkau luangkan
Engkau ingin berjuang, tapi dirimu tidak engkau tingkatkan, disiplin diri engkau abaikan, janji kurang engkau tunaikan dan kasih sayang engkau abaikan
Engkau ingin berjuang, tapi para tamu engkau abaikan, anak isteri engkau lupakan dan ilmu berjuang engkau tinggalkan
Engkau ingin berjuang, tapi pandangan engkau tidak diselaraskan, rasa bertuhan engkau abaikan dan iman taqwa engkau lupakan
~Qathrunnada~
Benarkah engkau seorang pejuang?
Mengaku diri sebagai pejuang, sebagai jundullah, sebagai aktivis, namun akhlak maupun tsaqafahnya tidak mencerminkan hal itu.
Mengaku diri sebagai mujahid, namun niat ternoda oleh selain-NYA.
Inilah yang ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala sindir di dalam Al-Qur’an,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya ALLAH mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
(QS. Al-‘Ankabuut [29]: 2-3)
Sang Pejuang Sejati
Masing-masing kita sebaiknya mengevaluasi diri, apakah kita memang sudah benar-benar menjadi pejuang di jalan-NYA, atau jangan-jangan baru sebatas khayalan dan angan-angan kosong belaka.
Inginkan syurga, tetapi tidak siap menggadaikan diri, harta dan jiwa.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi ALLAH orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.”
(QS. Ali ‘Imran [3]:142).
Ya, kita mengira akan masuk surga dengan pegorbanan yang sedikit, seakan ingin menyamakan diri dengan hukum ekonomi kapitalis, “Mendapatkan output yang sebesar-besarnya semaksimal mungkin, dengan input yang seminimal mungkin.”
Aduhai……
Sesungguhnya hari akhir itu adalah perkara yang besar.
Dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi itu, sangat mahal harganya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Generasi awal sukses karena zuhud dan teguhnya keyakinan, sedang ummat terakhir hancur karena kikir dan banyak berangan-angan muluk kepada ALLAH.”
Saat nasyid-nasyid perjuangan dilantunkan, gemuruh di dalam dada menjadi berkobar-kobar untuk berjuang. Tetapi sayang, ternyata hanya tersimpan di dalam dada dan semangat itu ikut surut seiring dengan berakhirnya lantunan nasyid.
Tidak keluar dalam amaliyah yang nyata.
Demi ALLAH…..
Keimanan bukanlah dilihat dari yang paling keras teriakan takbirnya.
Bukan pula dari yang paling deras air matanya kala muhasabah.
Bukan pula dari yang paling ekspresif menunjukkan kemarahan kala melihat Israel menyerang Palestina.
Dan bukan pula yang paling gegap-gempita berdemo saat Obama datang ke negerimu.
Bukan pula dari yang paling banyak simbol-simbol keagamaannya, karena itu semua hanya sesaat.
Sesungguhnya keistiqamahan dalam berjuang, itulah indikasi keimanan sang pejuang yang sebenarnya.
Pejuang yang sabar menapaki hari-hari dengan mengibarkan panji Ilahi Rabbi.
Yang selalu bermujahadah mengamalkan Al-Qur’an, teguh pendirian, tak kenal henti, hingga terminal akhir, surga.
Pengorbanan
Apakah dengan memakai sedikit waktu untuk berda’wah, sudah menganggap diri telah melakukan totalitas perjuangan?
Padahal para Nabi tidaklah menjadikan dakwah ini hanya sekedarnya saja, tetapi sebagaimana dicantumkan dalam surat Nuh [71] ayat 5, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang.”
Pun dalam surat Al-Muzzammil [73]: 1, 2, 8, 9, 20;
“Hai orang yang berselimut! Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-NYA dengan penuh ketekunan. (DIA-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan DIA, maka ambillah DIA sebagai pelindung. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi ALLAH sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada ALLAH; sesungguhnya ALLAh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sejak ayat itu turun, sang Nabi akhir zaman selalu siaga dalam kehidupan.
Bahkan, hingga menjelang ajalnya, Rasulullah tengah menyiapkan peperangan untuk menegakkan Al-Haq.
Sang pejuang, tetapi makanannya adalah sebaik-baik makanan, dan pakaiannya adalah sebaik-baik pakaian.
Dan dengan tanpa rasa berdosa, asyik menonton sinetron-sinetron cinta dan acara gosip, mendengar lagu-lagu cinta, berghibah, perut kenyang, banyak tidur, dan mengabaikan waktu, lalu berharap mendapatkan syurga?
Sangatlah jauh, bagaikan punuk merindukan rembulan.
Alangkah berbedanya dengan yang dicontohkan Muhammad Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Mush’ab bin Umair dan para sahabat yang lainnya yang setelah mendapatkan hidayah, mereka justru menjauhi kemewahan hidup.
Mereka mampu secara ekonomi, tetapi mereka tidak rela menikmati dunia yang melalaikan.
Seorang pejuang harus memahami jalan mendaki yang akan dilaluinya.
Sang Nabi tak pernah tertawa keras apatah lagi terbahak-bahak.
Dan hal itu dikarenakan keimanan yang tinggi akan adanya hari akhir, akan adanya surga dan neraka.
Ada amanah dakwah yang besar di pundaknya, lantas bagaimana mungkin seorang pejuang akan banyak bercanda?
Imam Syahid Hasan Al-Banna memasukkan “keseriusan” atau tidak banyak bergurau sebagai bagian dari 10 wasiatnya.
Dan dikisahkan pula bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi tak pernah tertawa karena Palestina belum terbebaskan.
Keringnya suasana ruhiyah di lingkungan kita, bisa jadi karena di antara kita -saat di luar halaqah- jarang saling bertaushiyah tentang hari akhir.
Bahkan sungguh aneh, dapat tertawa dan tidak menyimak ketika Al-Qur’an dibacakan di dalam pembukaan ta’lim.
Atau saat kaset murottal diputar, mengobrol tak mengindahkan.
Yang mengindikasikan bahwa Al-Qur’an itu baru sampai di tenggorokan saja.
“Akan tiba suatu masa dalam ummat ketika orang membaca Al-Qur’an, namun hanya sebatas tenggorokannya saja (tidak masuk ke dalam hatinya).”
(HR. Muslim).
Dimanakah air mata keimanan?!
Ya Rabbi…..
Ampunilah kelemahan kami dalam menggusung panji-MU.
Kederisasi generasi sebaiknya tidak melulu tentang pergerakan dan mengabaikan aspek keimanan.
Keimanan harus senantiasa dihembuskan dimana saja karena ia adalah motor penggerak yang hakiki.
Iman adalah akar -dari segala pergerakan dan perjuangan-.
Penutup
Menjadi pejuang, hendaknya bukanlah angan-angan kita belaka.
Menjadi pejuang, memiliki kriteria (muwashafat) yang harus di penuhi.
Jangan sampai kita terkena hadits ini,
“Akan datang suatu masa untuk ummatku ketika tidak lagi tersisa dari Al-Qur’an kecuali mushafnya, dan tidak tersisa Islam kecuali namanya, dan mereka tetap saja menyebut diri mereka dengan nama ini meskipun mereka adalah orang yang terjauh darinya.”
(Ibnu Babuya, Tsawab ul-A mal).
Pejuang di jalan-NYA hendaknya bukan dari kacamata kita, tetapi dari kacamata ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala.
Alangkah ruginya bila kita menganggap diri sebagai pejuang, padahal dalam pandangan ALLAH kita tak ada apa-apanya.
Maka, bersama-sama kita memuhasabahi diri, agar cinta kita kepada-NYA bukan hanya angan semata, agar cinta kita tak bertepuk sebelah tangan.
Karena pembuktian cinta haruslah mengikuti dengan keinginan yang di cinta.
Jika tidak, maka patut dipertanyakan kebenaran cintanya itu.
Cinta sejati, tidak hanya dimulut dan disimpan di dalam dada saja, tetapi harus dibuktikan, agar Sang Kekasih percaya bahwa kita mencintainya.
Kita mencintai-NYA dan DIA pun mencintai kita.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak ALLAH akan mendatangkan suatu kaum yang ALLAH mencintai mereka dan merekapun mencintai-NYA, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan ALLAH, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia ALLAH, diberikan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, dan ALLAH Maha Luas (pemberian-NYA) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Maa’idah [5]: 54).
Wallahu a'lam
Sumber ::: Notes Sahabat Muslim Berbagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar