Minggu, 30 September 2012

RASULULLAH SAW FIGUR SUAMI TELADAN


Di bawah naungan rumah tangga yang bersahaja di situlah tinggal sang istri, pahlawan di balik layar pembawa ketenangan dan kesejukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dunia itu penuh dengan kenikmatan. Dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang shalihah.” (Lihat Shahih Jami’ Shaghir karya Al-Albani)

Di antara keelokan budi pekerti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keharmonisan rumah tangga beliau ialah memanggil ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan nama kesayangan dan mengabarkan kepadanya berita yang membuat jiwa serasa melayang-layang.
Aisyah radhiyallah ‘anha menuturkan: “Pada suatu hari Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
“Wahai ‘Aisy (salah satu panggilan kesayangan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ), Malaikat Jibril ‘alaihissalam tadi menyampaikan salam buatmu.” (Muttafaq ‘alaih)

Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selaku Nabi umat ini yang paling sempurna akhlaknya dan paling tinggi derajatnya telah memberikan sebuah contoh yang berharga dalam hal berlaku baik kepada sang istri dan dalam hal kerendahan hati, serta dalam hal mengetahui keinginan dan kecemburuan wanita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkan mereka pada kedudukan yang diidam-idamkan oleh seluruh kaum hawa. Yaitu menjadi seorang istri yang memiliki kedudukan terhormat di samping suaminya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:
Suatu ketika aku minum, dan aku sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya.” (HR. Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah seperti yang diduga oleh kaum munafikin atau seperti yang dituduhkan kaum orientalis dengan tuduhan-tuduhan palsu dan pengakuan-pengakuan bathil. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lebih memilih etika berumah tangga yang paling elok dan sederhana.

Diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium salah seorang istri beliau kemudian berangkat menunaikan shalat tanpa memperbaharui wudhu’.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menjelaskan dengan gamblang tingginya kedudukan kaum wanita di sisi beliau. Mereka kaum hawa memiliki kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjawab pertanyaan ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallah ‘anhu seputar masalah ini, beliau jelaskan kepadanya bahwa mencintai istri bukanlah suatu hal yang tabu bagi seorang lelaki yang normal.
Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” beliau menjawab: “‘Aisyah!” (Muttafaq ‘alaih)
Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah ia memperhatikan kisah- kisah ‘Aisyah radhiyallah ‘anha bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana kiat-kiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membahagiakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:
“Aku biasa mandi berdua bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu bejana.” (HR. Al-Bukhari)

Rasulullah tidak melewatkan kesempatan sedikit pun kecuali beliau manfaatkan untuk membahagiakan dan menyenangkan istri melalui hal-hal yang dibolehkan.

Aisyah radhiyallah ‘anha mengisahkan:
Pada suatu ketika aku ikut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hanya diam saja atas keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk, aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau menantangku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!” (HR. Ahmad)

Sungguh! merupakan sebuah bentuk permainan yang sangat lembut dan sebuah perhatian yang sangat besar. Beliau perintahkan rombongan untuk berangkat terlebih dahulu agar beliau dapat menghibur hati sang istri dengan mengajaknya berlomba lari. Kemudian beliau memadukan permainan yang lalu dengan yang baru, beliau berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!”

Bagi mereka yang sering bepergian melanglang buana serta memperhatikan keadaan orang-orang yang terpandang pada tiap-tiap kaum, pasti akan takjub terhadap perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah seorang Nabi yang mulia, pemimpin yang selalu berjaya, keturunan terhormat suku Quraisy dan Bani Hasyim. Pada saat-saat kejayaan, beliau kembali dari sebuah peperangan dengan membawa kemenangan bersama rombongan pasukan besar. Meskipun demikian, beliau tetap seorang yang penuh kasih sayang dan rendah hati terhadap istri-istri beliau para Ummahaatul Mukiminin radhiyallah ‘anhu. Kedudukan beliau sebagai pemimpin pasukan, perjalanan panjang yang ditempuh, serta kemenangan demi kemenangan yang diraih di medan pertempuran, tidak membuat beliau lupa bahwa beliau didampingi para istri-istri kaum hawa yang lemah yang sangat membutuhkan sentuhan lembut dan bisikan manja. Agar dapat menghapus beban berat perjalanan yang sangat meletihkan.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali dari peperangan Khaibar, beliau menikahi Shafiyyah binti Huyaiy radhiyallahu ‘anha. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengulurkan tirai di dekat unta yang akan ditunggangi untuk melindungi Shafiyyah radhiyallah ‘anha dari pandangan orang. Kemudian beliau duduk bertumpu pada lutut di sisi unta tersebut, beliau persilakan Shafiyyah radhiyallah ‘anha untuk naik ke atas unta dengan bertumpu pada lutut beliau.

Pemandangan seperti ini memberikan kesan begitu mendalam yang menunjukkan ketawadhu’an beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku pemimpin yang berjaya dan seorang Nabi yang diutus- memberikan teladan kepada umatnya bahwa bersikap tawadhu’ kepada istri, mempersilakan lutut beliau sebagai tumpuan, membantu pekerjaan rumah, membahagiakan istri, sama sekali tidak mengurangi derajat dan kedudukan beliau.

Semoga Bermanfa’t,dan dapat mengambil Hikmahnya.



Selasa, 07 Agustus 2012

Kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan Bersedekah


Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril ‘Alaihis salam, di mana Jibril ‘alaihis salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling (cepat) dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus.” (Shahih al-Bukhari Ma’a al-Fath 1/30 nomor 6. Shahih Muslim 4/1803.)

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah pernah sama sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta suatu (harta) lalu beliau berkata tidak.” (Muttafaq Alaih)

Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu atas keislaman, melainkan beliau akan memberikannya, sungguh seseorang telah datang kepada beliau, lalu beliau memberikan kepadanya domba yang berada di antara dua gunung, kemudian orang tersebut kembali kepada kaumnya seraya berkata, ‘Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, karena Muhammad itu memberikan pemberian kepada orang yang tidak takut akan kemiskinan’.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Bahwasanya para sahabat menyembelih seekor domba lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Adakah sisa darinya?’ Aisyah berkata, ‘Tidaklah tersisa kecuali hanya pundaknya saja,’ beliau bersabda, ‘Tersisa semuanya kecuali pundaknya’.” (HR. Muslim).

Artinya, akan tersisa untuk kita di akhirat kelak, kecuali pundaknya saja.

Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu berkata, “Seorang wanita telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa suatu pakaian, berupa mantel yang terukir pada ujung-ujungnya, lalu wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya datang kepada anda untuk memberikan ini untuk anda’, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya, di mana beliau memang sangat membutuhkannya hingga beliau memakainya, kemudian mantel itu dilihat oleh seseorang dari para sahabat beliau, seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, betapa indahnya mantel tersebut, maka berikanlah mantel itu kepadaku?’ Beliau berkata, ‘Ya’, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak untuk memberikannya, para sahabat yang lain mencela orang tersebut seraya berkata, ‘Engkau tidak bersikap baik ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil mantel itu dari wanita tadi karena membutuhkannya, lalu engkau memintanya padahal engkau tahu bahwa tidaklah beliau itu dimintai sesuatu lalu beliau menolaknya’, dia berkata, ‘Demi Allah, tidaklah ada faktor yang mendorong saya melakukan itu melainkan karena saya berharap keberkahannya ketika telah dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya berharap agar saya dikafani dengan mantel tersebut.

Dan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati Bilal, sedangkan di sisinya ada setumpuk gandum, lalu beliau bersabda, ‘Apa ini wahai Bilal?’ Dia menjawab, ‘Saya menyiapkannya untuk tamu-tamumu’. Beliau bersabda, ‘Tidakkah engkau takut bahwa engkau memiliki masakan di Neraka Jahanam? Infakkan wahai Bilal dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy’.” (Dikeluarkan oleh al-Bazzar dengan isnad hasan, dan ath-Thabrani dari Abu Hurairah yang semisal dengan isnad yang hasan.)

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy”, adalah merupakan bentuk keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, berprasangka baik kepadaNya dan bertawakal kepadaNya diiringi dengan melakukan sebab-sebabnya.

Dan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Abu Dzar radiallahu ‘anhu berkata kepadaku, ‘Wahai anak saudaraku, saya pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memegang tangan beliau, lalu beliau bersabda kepadaku,
‘Wahai Abu Dzar, saya tidak suka memiliki emas dan perak sebesar gunung Uhud lalu saya infakkan di jalan Allah lalu saya meninggal pada saat ajalku dengan meninggalkan sedikit harta.’ Saya bertanya, ‘Bagaimana dengan harta yang banyak?’ Beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, saya memilih yang sedikit sedangkan engkau memilih yang lebih banyak, saya menghendaki akhirat sedangkan engkau menghendaki dunia, cukuplah bagimu harta sedikit saja’, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sebanyak tiga kali kepadaku’.”
(Dikeluarkan oleh ath-Thabrani semisalnya, dan al-Bazzar, serta al-Haitsami berkata, “Isnad al-Bazzar hasan.”)



Sabtu, 04 Agustus 2012

Siapakah Dia

Sejuk gemericik air di padang gersang
Basah terasa aliri pipa yang kering
Hangat sentuhan nian damai terasa
Berkahi langkah kita di spanjang hayatnya

Kasih sayangnya sehangat mentari pagi
Belaian tangannya selembut kain sutera
Senyum manisnya tidurkan hati nan luka
Pandang matanya tajamkan hati nan suci

Wahai kawan siapakah dia?
 
Dia adalah wanita paling berjasa
Sejak kita lahir kedunia dan melanglang alam fana
Tiada tandingan pujinya dalam hidup kita
Yang melahirkan kita
Menyusui dan membesarkan kita
Pertaruhkan jiwa raga membela kita semua

Dia adalah ibunda dan selalu mendoakan kita
Dalam keadaan lapang suka ataupun duka

Tutur katanya adalah harapan doa
Nasehat yang berguna sepanjang masa
Keredhoannya adalah ridho Illahi
Kemurkaannya adalah murka Illahi






**********************************
 
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS.Luqman : 14)

Marilah kita bersama mengasihinya
Selagi Alloh izinkan bersama kita
Bila Alloh telah memanggil ibunda
Sertakan doa selalu bagi dirinya

Semoga Alloh lapangkan alam kuburnya
Dan menyinari selalu dengan cahyanya
Memberkahi ibuda dengan ????nya
Dan melapangkan jalannya menuju syurga

Dowload Lagu


Kamis, 02 Agustus 2012

Sebuah Kisah Dari Seberang

Menjelang Bulan Ramadhan yang sangat kita tunggu. Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung Ketapang. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung.Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan bahkan orang-orang tua. Hal ini bagi orang kampung sungguh menyebalkan.

Yah, bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan kesana kemar
i sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala.Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat diplastik es tersebut.Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa!Tapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulan puasa! Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu saja menggoda orang yang melihatnya.

Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari dikampung itu lebih terik dari biasanya.Luqman mendapat laporan dari orang-orang kampong mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan memperagakan bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi daging tersebut.Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan.Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.Luqman memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setiap bakda zuhur, anak itu akan muncul secara misterius.Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama juga!Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu datang lagi. Benar, ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu.

Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah, tanda ingin meminum es itu juga.Luqman pun lalu menegurnya.. Cuma,ya itu tadi,bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar.“Bismillah.. .” ucap Luqman dengan kembali mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir,kalau memang bocah itu bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini.Kalau memang bocah itu “bocah beneran” pun, ia juga akan cari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan Luqman. Luqman pun menyentak tanggannya, menyeret dengan halus bocah itu, dan membawanya ke rumah.Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya.

“Ada apa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?” tanya bocah itu sesampainya di rumah Luqman, seakan-akan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya.Matanya masih lekat menatap tajam pada Luqman.“Maaf ya, itu karena kamu melakukannya dibulan puasa,” jawab Luqman dengan halus,”apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu..”Sebenarnya Luqman masih akan mengeluarkan uneg-unegnya, mengomeli anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai. Ia menatap Luqman lebih tajam lagi.“Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya..?! Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup dibawah garis kemiskinan pada sebelas bulan diluar bulan puasa? Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal..?!Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus?Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian…!?”Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Luqman untuk menyela.

Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar “sangat” menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba. “Ketahuilah Tuan.., kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja. Dan ketahuilah juga, justru Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri?Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri?

Tuan.., sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula.Tuan.., kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami…!Tuan.., sadarkah Tuan akan ketidak abadian harta? Lalu kenapakah kalian masih saja mendekap harta secara berlebih?Tuan.., sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling Tuan tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat?Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat.. Tahukah Tuan akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa?Tuan.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi. Tuan…, jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan ‘tuk setahun, jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak….”Wuahh…, entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman.

Kalimat demi kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan.Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya!Hal ini menambah keyakinan Luqman, bahwa bocah ini bukanlah bocah sembarangan.Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong.Di kejauhan, Luqman melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi.Begitu sadar, Luqman berlari mengejar ke luar rumah hingga ke tepian jalan raya kampung Ketapang. Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi ia tidak menemukan bocah itu.

Di tengah deru nafasnya yang memburu, ia tanya semua orang di ujung jalan, tapi semuanya menggeleng bingung. Bahkan, orang-orang yang menunggu penasaran didepan rumahnya pun mengaku tidak melihat bocah itu keluar dari rumah Luqman!Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang! Luqman tidak mau main-main.Segera ia putar langkah, balik ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi irrasional, tidak masuk akal, tapi ia mau meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa memang betul adanya apa yang dikatakan bocah misterius tadi.Bocah tadi memberikan pelajaran yang berharga, betapa kita sering melupakan orang yang seharusnya kita ingat.. Yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki penghidupan yang layak.Bocah tadi juga memberikan Luqman pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sedang berada diatas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.Mari lah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahan lapar.Luqman berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allah sebut mati mata hatinya.Sekarang yang ada dipikirannya sekarang , entah mau dipercaya orang atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama bocah itu sekaligus menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang.Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki bercahayanya hati.Pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir.

Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya, selama-lamanya. Luqman rindu kalimat-kalimat pedas dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya.Luqman rindu akan kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani menunjuk hidungnya ketika ia salah.

Semoga Bermanfaat


Selasa, 19 Juni 2012

Jangan Halangi Cinta dan Kasih Sayang-Nya

 
“ Sungguh ALLAH lebih berbahagia dengan taubat hamba-Nya ketimbang seorang yang kehilangan hewan kendaraannya di daerah tak bertuan “. ( HR. Muslim )

Ternyata kita masih di sini. Di dunia ini. Hidup dan belum mati. Mungkin ada duka di antara kita. Yang sakit, yang dicoba, atau yang diuji dengan bencana. Tapi sesungguhnya, keseluruhan hidup kita adalah karunia. Di tubuh kita ada banyak tanda cinta-Nya. Mata, telinga, mulut, tangan, dan banyak lagi lainnya. Di sekeliling kita banyak perlambang kasih sayang- Nya. Ada anak-anak kita yang lucu. Bertingkah manis. Kadang menggemaskan, kadang menyita banyak perhatian dan kelelahan kita. Ada udara yang kita hirup Cuma-Cuma. Meski tak semuanya segar. Ada matahari yang bersinar terang. Ada hujan yang setia membasahi tanah-tanah kering dan bebatuan.

Alangkah luas kasih sayang ALLAH. ALLAH SubhanalLah Wa Ta’ala mengingatkan kita, “ Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat ALLAH, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya ALLAH benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ ( QS. An Nahl : 18 )


Saudaraku,

Tetapi lebih dari itu. Ada cinta dan kasih sayang yang sangat diperlukan manusia, yaitu ampunan ALLAH atas hamba-hamba-Nya. Perhatikanlah dalam-dalam, bagaimana RasululLAH menggambarkan besarnya cinta dan kasih sayang ALLAH kepada hamba-Nya yang bahkan telah melakukan kesalahan. Asalkan mereka mau bertaubat.


“ Sungguh ALLAH lebih berbahagia dengan taubat hambaNya ketimbang seorang yang kehilangan hewan kendaraannya di daerah tak bertuan. Hewan beserta makanan, miniman dan segala perbekalannya hilang. Orang itu pustus asa untuk menemukan hewan kendaraannya. Ia datang ke sebuah pohon dan tertidur di bawah naungannya. Tapi tiba-tiba ketika bangun, hewan yang hilang itu berdiri di sisinya. Ia pun memegang tali kekangnya. Saking gembiranya ia salah ucap dan mengatakan, “ Ya ALLAH,-engkau hambaku sedang aku Tuhanmu…” ( HR Muslim )

Apa yang terlintas dalam benak kita, jika orang yang sangat kita kasihi ditawan musuh? Kita tidak bisa melihat dan mendekatinya, padahal kita tahu kekejaman dan keburukan musuh itu. Mungkin ia akan menyiksa orang yang sangat kita cintai itu. Tapi ternyata kemudian, orang yang kita kasihi itu dapat melepaskan diri dari cengkraman musuh, lalu ia datang kepada kita tanpa diduga. Kita pasti sangat gembira dan bahagia.

Kita tentu tidak sedang menyamakan bahagia manusiawi kita dengan bahagia ALLAH. Karena itu jelas dilarang. Tetapi yang pasti, orang yang bertaubat kepada ALLAH dari lumpur dosa kedzaliman , sama seperti orang yang bebas diri dari tawanan syetan dan hawa nafsu. Ia terbebas lalu kembali ke jalan yang semestinya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al Jawabul Kafi menyinggung masalah ini. Ia menjelaskan bahwa syaithan itu musuh. Syaithan telah melakukan kedurhakaan dan bertekad untuk mempengaruhi manusia agar durhaka dan melawan perintah ALLAH. ALLAH mengetahui bagaimana keji dan buruknya syaithan. Ia akan menyimpangkan manusia ke jalan hidup yang penuh derita dan kepedihan. Karenanya, sebagai bukti cinta-Nya kepada kita, ALLAH tunjukkan kita bagaimana tabi’at syaithan itu, lalu Ia beritahukan juga cara menghadapi tipu daya syaithan itu. Dan, ALLAH juga menghamparkan kepada manusia pintu taubat-Nya, bagi yang tergelincir oleh godaan itu.

Saudaraku,

Yakini dan ingat selalu, besarnya kecintaan dan kasih sayang ALLAH SubhanalLAH Wa Ta’ala itu. ALLAH mencintai orang-orang yang bertaubat. ALLAH senang bila hamba-hamba-Nya kembali pada-Nya dan berdiri di ambang pintu-Nya. ALLAH membentangkan Tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat keburukan pada siang harinya dan membentangkan Tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat keburukan pada malam harinya. Lalu, bila malam dan siang terbentang pintu taubat, apa lagi yang kita tunggu?

Dengarkanlah apa yang diuraikan seorang salafusalih di zaman Tabi’in, Fudhail bi Iyadh :

“ Jika malam sudah berbaur dengan kegelapan dan tabir malam sudah menjulur, maka ALLAH Dzat yang Maha Agung berfirman,” Siapakah yang lebih murah hati dari pada Aku ? Meski semua makhluk durhaka kepada-Ku, maka Aku tetap mengawasi mereka. Aku melindungi mereka di tempat tidur, seakan mereka tidak pernah berbuat dosa. Aku limpahkan karunia pada orang durhaka dan orang yang melakukan keburukan. Siapa yang berseru pada-Ku dan Aku tidak menerimanya? Siapa yang meminta pada-Ku dan Aku tidak memberinya? Siapa yang mengetuk pintu-Ku lalu Aku mengusirnya? Aku adalah karunia dan dari- Ku lah datangnya karunia. Aku adalah kemurahan dan dari-Ku lah datangnya kemurahan. Aku lah Yang Maha Mulia dan dari-Ku datangnya kemuliaan. Di antara kemuliaan-Ku adalah Aku mengampuni orang-orang yang durhaka sekalipun dia melakukan berbagai macam kedurhakaan. Di antara kemuliaan-Ku ialah aku memberi apa yang diminta hamba dan Aku juga memberi hamba yang tidak meminta kepada-Ku. Di antara kemuliaan-Ku adalah Aku memberi ampunan pada orang yang bertaubat seakan dia tak pernah durhaka pada-Ku. Kemanakah makhluk yang lari meninggalkan Aku? Kemanakah orang-orang durhaka yang meninggalkan pintu-Ku.” ( Hilyatul Aulia, 8/92-93)



Yahya bin Muadz berkata, “ Maaf ALLAH itu bisa menenggelamkan dosa-dosa. Bagaimana dengan keridhaan ALLAH? Keridhaan ALLAH itu bisa memenuhi semua harapan. Bagaimana dengan cinta-Nya? Cinta ALLAH itu bisa mengalahkan logika. Bagaimana dengan kasih sayang-Nya?. Kasih sayang ALLAH itu dapat membuat orang tidak memerlukan apapun. Maka, barang siapa yang mencintai selain ALLAH ( lebih dari cintanya kepada ALLAH, atau cinta yang dilarang ALLAH ), itu karena kebodohan dan kependekan pengetahuannya tentana ALLAH.”

Saudaraku,

Kita semua pasti senang disayang dan dicintai ALLAH. Itu bukan pilihan sukarela, mau atau tidak mau. Tetapi kita memang perlu kasih sayang itu. Maka, Jangan halangi turunnya cinta dan kasih sayang-Nya. Kita terlalu banyak melakukan kesalahan. Segeralah kembali kepada ALLAH SubhanalLAH Wa Ta’alaa. Ucapkanlah istighfar, mohonlah maaf dan ampunan. Mintalah juga orang lain untuk mendo’akan kita agar ALLAH mengampuni dosa kita. Mintalah kepada mereka, terutama orang-orang yang kita anggap dosa dan kesalahannya lebih ringan dari kita. Umar bin Khattab, Amirul Mukminin yang terkenal kekuatan dan ketegasannya dalam menjauhi larangan ALLAH, pernah meminta pada anak-anak agar memohonkan ampunan baginya. “ Kalian belum mengenal dosa,” kata Umar.

Saudaraku,

Mari sama-sama Saling mendo’akan, agar ALLAH SubhanalLAH Wa Ta’ala mengampuni dosa dan kekhilafan kita….Agar ALLAH terus mencurahkan kasih dan sayangNya. Agar jalan hidup kita bersinar terang. Selagi kita masih diberi waktu.


Jumat, 08 Juni 2012

Ojo Kelalen


Kito menungso seng orep nang dunio sedhilut ae
Semestine kito golek bekalan secukupe
Ojolah sampek kito kabeh dadi kelalen
Njaluklah ampun karo Pengeran Kuoso

Kita manusia hidup di dunia sementara
Semestinya kita kumpul bekalan secukupnya
Janganlah sampai kita semua terlupa
Mintalah ampun pada Yang Maha Kuasa

Opo seng kito dhuwe
Kabeh diselehne
Opo seng diwehne
Terimo wae

Elenglah kito orak kiro pangkate
Seng enom seng tuo
Kito podo wahe
Seng dilakokne
 
Elek opo pun apik
Mesti eneng balasane
Bareng-bareng kito podo
Dicedeki
Opo wahe Kersane Pengeran Kuoso

Kito menungso seng orep nang dunio sedhilut ae
Semestine kito golek bekalan secukupe
Ojolah sampek kito kabeh dadi kelalen
Njaloklah ampun karo Pengeran Kuoso

Apa yang kita ada
Pinjaman belaka
Apa yang diberi
Bersyukurlah

Kita manusia hidup di dunia sementara
Semestinya kita kumpul bekalan secukupnya
Janganlah sampai kita semua terlupa
Mintalah ampun pada Yang Maha Kuasa

Njaloklah ampun karo Pengeran Kuoso
Mintalah ampun pada Yang Maha Kuasa

By : Brothers


Sabtu, 31 Maret 2012

Rabi'ah bin Ka'ab, Sahabat yang Rendah Hati


Di usia muda, jiwanya sudah cemerlang dengan cahaya iman. Hatinya dipenuhi pengertian dan pemahaman tentang Islam.

Pertama kali berjumpa dengan Rasulullah saw, ia langsung jatuh cinta dan menyerahkan seluruh jiwa raganya; menjadi pendamping beliau. Kemana pun beliau pergi, Rabi'ah bin Ka'ab selalu berada di sampingnya.

Rabi'ah melayani segala keperluan Rasulullah sepanjang hari hingga habis waktu Isya' yang terakhir. Bahkan lebih dari itu, ketika Rasulullah hendak berangkat tidur, tak jarang Rabi'ah mendekam berjaga di depan pintu rumah beliau. Di tengah malam, ketika Nabi SAW bangun untuk melaksanakan shalat, seringkali ia mendengar beliau membaca Al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw, jika seorang berbuat baik kepadanya, maka beliau pasti membalasnya dengan lebih baik lagi. Begitulah, beliau membalas kebaikan Rabi'ah dengan kebaikan pula.

Pada suatu hari beliau memanggilnya seraya berkata, "Wahai Rabi'ah bin Ka'ab, katakanlah permintaanmu, nanti kupenuhi!"

Setelah diam sejenak, Rabi'ah menjawab, "Ya Rasulullah, berilah saya sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu, akan kuberitahukan kepada Anda."

"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.

Rabi'ah bin Ka'ab adalah seorang pemuda miskin, tidak memiliki keluarga, harta dan tempat tinggal. Ia menetap di Shuffatul Masjid (emper masjid), bersama-sama dengan kawan senasibnya, yaitu orang-orang fakir dari kaum Muslimin. Masyarakat menyebut mereka "dhuyuful Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila ada yang memberi hadiah kepada Rasulullah, maka biasanya beliau memberikannya kepada mereka. Rasulullah hanya mengambil sedikit saja.

Dalam hati, Rabi'ah bin Ka'ab ingin meminta kekayaan dunia agar terbebas dari kefakiran. Ia ingin punya harta, istri, dan anak seperti para sahabat yang lain. Namun, hati kecilnya berkata, "Celaka engkau, wahai Rabi'ah bin Ka'ab! Kekayaan dunia akan lenyap. Mengapa engkau tidak meminta kepada Rasulullah agar mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu?"

Hatinya mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya mohon agar engkau mendoakan kepada Allah agar menjadi temanmu di surga."

Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?"

"Tidak, ya Rasulullah. Tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaanku," jawab Rabi'ah bin Ka'ab mantap.

"Kalau begitu, bantulah aku dengan dirimu sendiri. Perbanyaklah sujud," kata Rasulullah.

Sejak itu, Rabi'ah bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntungannya melayani beliau di dunia. Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW memanggilnya. "Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi'ah?" tanya beliau.

"Saya tak ingin ada sesuatu yang menggangguku dalam berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, saya tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup berumah tangga," jawab Rabi'ah.

Rasulullah diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau memanggil Rabi'ah kembali seraya bertanya, "Apakah engkau tidak hendak menikah, ya Rabi'ah?"

Dan Rabi'ah kembali menjawab seperti seperti semula. Hingga ketiga kalinya Rasulullah memanggil dan bertanya serupa. Rabi'ah menjawab, "Tentu, ya Rasulullah. Tetapi, siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti yang Anda maklumi."

"Temuilah keluarga Fulan. Katakan kepada mereka bahwa Rasulullah menyuruhmu kalian supaya menikahkan anak perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau."

Dengan malu-malu Rabi'ah datang ke rumah mereka dan menyampaikan maksud kedatangannya. Tuan rumah menjawab, "Selamat datang ya Rasulullah, dan dan selamat datang utusan Rasulullah. Demi Allah, utusan Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah hajatnya terpenuhi!"

Rabi'ah bin Ka'ab kemudian menikah dengan anak gadis tersebut. Dan Rasulullah juga menghadiahkan sebidang kebun kepadanya, berbatasan dengan kebun Abu Bakar Ash-Shiddiq. Suatu ketika, Rabi'ah sempat berselisih dengan Abu Bakar mengenai sebatang pohon kurma. Rabi'ah mengaku pohon kurma itu miliknya, sementara Abu Bakar juga mengakui hal yang sama.

Ketika perselisihan memanas, Abu Bakar sempat mengucapkan kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah sadar atas ketelanjurannya mengucapkan kata-kata tersebut, Abu Bakar menyesal dan berkata kepada Rabi'ah, "Hai Rabi'ah, ucapkan pula kata-kata seperti yang kulontarkan kepadamu, sebagai hukuman (qishash) bagiku!"

Rabi'ah menjawab, "Tidak! Aku tidak akan mengucapkannya!"

"Akan kuadukan kamu kepada Rasulullah, kalau engkau tidak mau mengucapkannya!" kata Abu Bakar, lalu pergi menemui Rasulullah SAW.

Rabi'ah mengikutinya dari belakang. Kerabat Rab'iah dari Bani Aslam berkumpul dan mencela sikapnya. "Bukankah dia yang memakimu terlebih dahulu? Kemudian dia pula yang mengadukanmu kepada Rasulullah?" kata mereka.

Rabi'ah menjawab, "Celaka kalian! Tidak tahukah kalian siapa dia? Itulah "Ash-Shiddiq", sahabat terdekat Rasulullah dan orang tua kaum Muslimin. Pergilah kalian segera sebelum dia melihat kalian ramai-ramai di sini. Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak membantuku dalam masalah ini sehingga dia menjadi marah. Lalu dalam kemarahannya dia datang mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah karena kemarahan Abu Bakar. Kemarahan mereka berdua adalah kemarahan Allah. Akhirnya, aku yang celaka?"

Mendengar kata-kata Rabi'ah, mereka pun pergi. Abu Bakar bertemu dengan Rasululah SAW dan menuturkan apa yang terjadi. Rasulullah mengangkat kepala seraya bertanya pada Rabi'ah, "Apa yang terjadi antara kau dengan Ash-Shiddiq?"

"Ya Rasulullah, beliau menghendakiku mengucapkan kata-kata makian kepadanya, seperti yang diucapkannya kepadaku. Tetapi, aku tidak mau mengatakannya," jawab Rabi'ah.

Kata Rasulullah, "Bagus! Jangan ucapkan kata-kata itu. Tetapi katakanlah, semoga Allah mengampuni Abu Bakar!"

Rabi'ah pun mengucapkan kata-kata itu. Mendengar kata-kata Rabi'ah, Abu bakar pergi dengan air mata berlinang, sambil berucap, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Rabi'ah." Mereka pun hidup rukun kembali.


Jagalah Lisan Kita Ukhti

Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terlimpah kepada kita tiada terbilang hingga kita tidak mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian ingin menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim: 34)

Dia Yang Maha Suci juga berfirman:
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Dan Dia telah mencurahkan nikmat-Nya yang lahir dan yang batin kepada kalian.” (Luqman: 20)

Di antara sekian banyak nikmat-Nya adalah lisan atau lidah yang dengannya seorang hamba dapat mengungkapkan keinginan jiwanya.
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata, lisan, dan dua bibir?” (Al-Balad: 8-9)

Dengan lisan ini, seorang hamba dapat terangkat derajatnya dengan beroleh kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, ia juga dapat tersungkur ke jurang jahannam dengan sebab lisannya. Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 6478)

Dalam hadits yang lain disebutkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406, 7407)

Dalam riwayat Muslim:
أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“…lebih jauh daripada antara timur dan barat.”
Yang disesalkan dari keberadaan kita, kaum hawa, sering menyalahgunakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa lisan ini. Lisan dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan sehingga keluar darinya kalimat-kalimat yang membinasakan pengucapnya. Ghibah, namimah, dusta, mengumpat, mencela dan teman-temannya, biasa terucap.

Terasa ringan tanpa beban, seakan tiada balasan yang akan diperoleh. Membicarakan cacat/cela seseorang, menjatuhkan kehormatan seorang muslim, seakan jadi santapan lezat bagi yang namanya lisan.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
الْـمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْـمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan, “Kaum muslimin selamat dari lisannya di mana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat mereka, tidak mengghibah dan menyebarkan namimah di antara mereka, tidak menyebarkan satu macam kejelekan dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar menahan lisannya. Menahan lisan ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit bagi seseorang. Sebaliknya, begitu gampangnya seseorang melepas lisannya.”

Beliau rahimahullahu juga menyatakan, “Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar bahayanya bagi seseorang. Karena itulah, bila seseorang berada di pagi harinya maka anggota tubuhnya yang lain, dua tangan, dua kaki, dua mata dan seluruh anggota yang lain mengingkari lisan. Demikian pula kemaluan, karena pada kemaluan ada syahwat nikah dan pada lisan ada syahwat kalam (berbicara). Sedikit orang yang selamat dari dua syahwat ini.

Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah, tidak berbuat namimah dan tidak menebarkan permusuhan di antara manusia. Dia adalah orang yang memberikan rasa aman kepada orang lain. Bila ia mendengar kejelekan, ia menjaga lisannya. Tidak seperti yang dilakukan sebagian manusia -wal ‘iyadzubillah- bila mendengar kejelekan saudaranya sesama muslim, ia melonjak kegirangan kemudian ia menyebarkan kejelekan itu di negerinya. Orang seperti ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya).” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/764)

Lisan yang berpenyakit seperti ini banyak diderita oleh kaum hawa, sehingga mereka harus banyak-banyak diperingatkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara lisan mereka. Ketahuilah, karena bahayanya lisan bila tidak dijaga oleh pemiliknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjamin surga bagi orang yang dapat menjaga lisan dan kemaluannya.

Sahl bin Sa’d radhiyallhu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yaitu lisan)1 dan apa yang ada di antara dua kakinya (yaitu kemaluan)2 maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)
 
Bila engkau tidak dapat berkata yang baik, maka diamlah niscaya itu lebih selamat.
Karenanya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim)

Al-Imam Al-Hakim rahimahullahu meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallhu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke bibirnya dan berkata:
الصُّمْتُ إِلاَّ مِنْ خَيْرٍ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذٌ: وَهَلْ نُؤَاخَذُ بِمَا تَكَلَّمَتْ بِهِ أَلْسِنَتُنَا؟ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَخِذَ مُعَاذٍ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُعَاذُ، ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ -أَوْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ مِنْ ذَلِكَ- وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ فِي جَهَنَّمَ إِلاَّ مَا نَطَقَتْ بِهِ أَلْسِنَتُهُمْ؟ فَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ عَنْ شَرٍّ، قُوْلُوْا خَيْرًا تَغْنَمُوا وَاسْكُتُوْا عَنْ شَرٍّ تَسْلَمُوْا
“Diamlah kecuali dari perkataan yang baik.” Mu’adz bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul paha Mu’adz, kemudian bersabda,
“Wahai Mu’adz, ibumu kehilangan kamu3″, atau beliau mengucapkan kepada Mu’adz apa yang Allah kehendaki dari ucapan. “Bukankah manusia ditelungkupkan di atas hidung mereka ke dalam jahannam tidak lain disebabkan karena apa yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka? Karenanya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata baik atau ia diam dari berkata yang jelek. Ucapkanlah kebaikan niscaya kalian akan menuai kebaikan dan diamlah dari berkata yang jelek niscaya kalian akan selamat.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/460)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menasihatkan, “Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau satu kalimat, ia merenungkan dan memikirkan kata/kalimat tersebut dalam jiwanya sebelum mengucapkannya. Bila memang tampak kemaslahatan dan kebaikannya maka ia berbicara. Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan lisannya.” (Al-Minhaj, 18/318)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/339-340) menukilkan ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu berkata, “Siapa yang banyak bicaranya akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallhu ‘anhu memegang lisannya dan berkata, “Ini yang akan mengantarkan aku ke neraka.”
Ibnu Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk dipenjara dalam waktu yang panjang daripada lisan.”

Ingatlah saudariku, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menukilkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhuma tentang ayat di atas, “Malaikat itu mencatat setiap apa yang diucapkannya berupa kebaikan ataupun kejelekan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/308)

Ingatlah, semuanya tercatat dan tersimpan dalam catatan amalmu. Maka berbahagialah engkau bila catatan amalmu dipenuhi dengan kebaikan, ucapan yang baik dan amal shalih. Tentunya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa surga kan menanti…

Sebaliknya celaka engkau bila catatan amalmu dipenuhi ucapan kosong, sia-sia lagi mengandung dosa dan amal yang buruk. Tentunya ancaman neraka menanti…
Bila demikian keadaannya ke mana engkau hendak menuju, ke surga ataukah ke neraka? Tentu tanpa ragu engkau ingin menjadi penghuni surga.

Maka, jangan biarkan lisanmu menggelincirkanmu ke dalam jurang kebinasaan yang tiada bertepi.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sumber : http://asysyariah.com

  

Lunas Dengan Segelas Susu


Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar.

Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Walaupun rumah yang dia kunjungi merupakan rumah sederhana dan boleh dibilang miskin.
Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.

Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.

Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, "berapa saya harus membayar untuk segelas susu ini ?"

Wanita itu menjawab: "Kamu tidak perlu membayar apapun". "Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan" kata wanita itu menambahkan.

Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :" Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda."

Belasan tahun kemudian, wanita muda yang telah berusia lanjut tersebut mengalami sakit yang sangat komplek dan kritis. Para dokter di kotanya itu sudah tidak sanggup menanganinya.

Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.

Dr. Howard Kelly dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dokter Kelly.

Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut.

Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu. Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan.. . Wanita itu sembuh !!. Dr. Kelly meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan.

Dr. Kelly melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.
Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicil seumur hidupnya.

Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatuannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi..

"Telah dibayar lunas dengan segelas susu.." tertanda, DR Howard Kelly.

Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa: "Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dan tangan manusia."
  

Jumat, 30 Maret 2012

Bila Tirai Itu Telah Terbuka

 
Di suatu sore di hari hujan, ada seorang Al-ukh yang sedang bersandar pada dinding putih di sebuah lorong yang memanjang, sebuah mushaf hitam yang sedang ia pegang terbuka sedangkan matanya seakan tak fokus pada mushafnya, sesekali ia menengok ke kanan dan ke kiri, lalu ia menunduk membaca Kitab Al-Qur’an dengan mata yang berkaca-kaca dan mulai larut pada surat cinta Rabbnya. Butir-butir air mata kristal jatuh dari kedua ujung matanya… Ia masih tetap menunggu seseorang yang tak kunjung datang itu. Akhirnya seorang teman mendekatinya.

“Assalamu’alaikum ukh, sedang apa?? Kok sendirian aja?” Sapanya
“Wa’alaikumsalam, sedang menunggu seseorang ukh, tapi sepertinya ia tak datang”. Tuturnya dengan wajah sedih.

Setelahnya ia memeluk temannya begitu erat, dan Al-ukh menangis sesegukan.
Sang teman membalas pelukannya lebih erat dalam diamnya. Rupanya sang teman sudah mengetahui sebab kegundahan saudarinya. Sebuah fitnah, berpuluh-puluhan justifikasi serta sikap tak bersahabat orang-orang di sekitar Al-ukh ini lah yang membuatnya tak tega. Hanya karena ia melakukan setitik kesalahan. Ibarat kertas putih yang di goreskan sebuah titik hitam oleh pena, maka semua orang akan melihat kearah titik hitam itu bukan ke bagian putihnya.
Sang teman menghiburnya dengan berkata “Ukh bersabarlah, suatu hari ketika Allah membukakan tirai atas mu, maka saat itu juga mereka akan meminta maaf kepadamu dengan hati yang sangat bersalah, karena begitu banyak kebaikanmu yang tersembunyi itu tak mampu dihapuskan hanya dengan setitik kesalahan yang pada awalnya adalah maksud baikmu kepada mereka. Sambil memeluk Al-ukh lebih erat.
Pandangan mata selalu menipu. .
Pandangan akal selalu tersalah. .
Pandangan nafsu selalu melulu. .
Pandangan hati itu yang hakiki. .
Kalau hati itu bersih. .
Hati kalau selalu bersih. .
Pandangannya akan menembus hijab. .
Hati jika sudah bersih. .
Firasatnya tepat karena Allah. .
Tapi hati bila dikotori. .
Bisikannya bukan lagi kebenaran. .
Tapi hati bila dikotori. .
Bisikannya bukan lagi kebenaran. .
Hati tempat jatuhnya pandangan Allah. .
Jasad lahir tumpuan manusia. .
Utamakanlah pandangan Allah
Dari pada pandangan manusia. .
(Snada, Pandangan Mata)
Begitu banyak keterbatasan manusia, hingga dengan mudah ia menjustifikasi seseorang itu baik atau buruk. Padahal, hanya panca indra tumpuan mereka.
Dalam sebuah hadits di katakan:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta-harta kamu tapi melihat hati dan perbuatanmu.” (H.R. Muslim).

Al Qurtubi berkata, “Ini sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak diperbolehkannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau perbuatan menyimpangnya. Ada kemungkinan di balik pekerjaan saleh yang lahiriah itu, ternyata di hatinya tersimpan sifat atau niat buruk yang menyebabkan perbuatannya tidak sah dan dimurkai Allah swt. Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat teledor dalam perbuatannya ternyata di hatinya terdapat sifat terpuji yang karenanya Allah SWT memaafkannya.

Alangkah lebih bijak bila manusia melibatkan hatinya dalam berkehidupan di dunia. Karena hati yang bersih itu dapat membuka tirai-tirai yang menutupi atas sesuatu. Sehingga firasatnya tepat karena Allah. Tentunya bila hati itu bersih, apa yang tersampaikan adalah kebenaran. Bila hati itu bersih maka yang tersampaikan adalah kesantunan bahasa sehingga tak menggoreskan luka di hati saudarinya.

Pancaran bersih hati lainnya akan tampak terealisasikan pula dari struktur bibir atau senyuman. Pastilah kita akan senang kalau melihat orang lain senyum kepada kita dengan tulus, wajar dan proporsional. Dan senyum itu bukanlah perkara mengangkat ujung bibir — itu perkara tipu-menipu — tapi yang paling penting adalah keinginan dari dalam diri untuk membahagiakan orang yang ada di sekitar kita, minimal dengan senyuman. Dan tentu saja dilanjutkan dengan sapaan tulus, ucapan salam “Assalaamu’alaikum”, timbul dari hati yang ikhlas, insya Allah ini akan membuat suasana menjadi lebih enak, tenteram, dan menyenangkan.

“Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun kembali bersinar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sejatinya dalam sebuah hati itu terdapat sebuah awan seperti yang dikatakan hadits tersebut. Ada saatnya ia tertutup awan dan ada kalanya ia bercahaya. Maka hati yang bersih senantiasa akan bersinar, sinarnya akan menerangi akhlakmu dan menerangi tiap langkahmu.

Namun, Hati itu mudah terbolak-balik, semudah kita membalikkan telapak tangan, mungkin lebih mudah dari itu. Maka berdoalah kepada Allah Sang Maha Pembolak-Balik Hati Manusia, agar senantiasa hatinya di balikkan kearah kebaikan.  Agar Allah membukakan tirai-tirai yang menutupi atas suatu perkara, sehingga yang kita lihat adalah kebenaran.
“Syahr bin Hausyab RA mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah, “Wahai ibu orang-orang yang beriman, doa apa yang selalu diucapkan Rasulullah SAW saat berada di sampingmu?” Ia menjawab: “Doa yang banyak diucapkannya ialah, ‘Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (Wahai yang membolak-balikkan qalbu, tetapkanlah qalbuku pada agama-Mu).” “Ummu Salamah melanjutkan, “Aku pernah bertanya juga, “Wahai Rasulullah, alangkah seringnya engkau membaca doa: “Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika.” Beliau menjawab: “Wahai Ummu Salamah, tidak ada seorang manusia pun kecuali qalbunya berada antara dua jari Tuhan Yang Maha Rahman. Maka siapa saja yang Dia kehendaki, Dia luruskan, dan siapa yang Dia kehendaki, Dia biarkan dalam kesesatan.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Hadanallahu waiyyakum ajma’in, wallahu a’lam bi showab

Agar Pernikahan Membawa Berkah

Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka
ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a
keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah
memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan
kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang
mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak
keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak
fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga
setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di
kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam
pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat
materil ataupun non materil.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari
permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu
dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat
beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya
sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak
membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah
berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya
orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi
wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin
sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam
berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam
aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi
keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam
kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung
dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home)
tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba.
Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah
tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga
sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi
(muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten
(istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap
mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan
biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT
sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai
sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS.
An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan
merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam
salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk
menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku”
(HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah
Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi)
pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh
Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih
mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya
(kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi
pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang
berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi
bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga
pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan
akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.

Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya
seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap
zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan
pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan
yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang
menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan
keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim
teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala
aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu
menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya
keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud
komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu
adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun
harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran
(fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga
masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian
suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di
antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala
hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat
dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki
kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian
(seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka
suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha
memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat
artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.

Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara
suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya
suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang
secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan
kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan
apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri,
begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk
memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3
(tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika
memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun
tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah
untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini
belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan
kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang
berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan”
kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk
memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam
kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang
tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan
jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri
atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan
kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian
(empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah
menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan
malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam
interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone,
email, dsb.

Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu
berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam
QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi
yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan
bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan
keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap
tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal
kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut
dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan
seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana
sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala
menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk
menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung,
tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut
perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri,
tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami,
anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak
yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika
hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati,
bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang
menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran.
Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima
kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai
satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah
dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita
kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya
kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental
(asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak
berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas
Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih
banyak keberkahan.

Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan
berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni
neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada
suaminya.

Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami
seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu
membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal
dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan
anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal
masa depan yang harus dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan
semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan.
Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan
dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga
menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu
mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan
pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap
dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.

Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang
sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan,
sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS.
Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS.
Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan
yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang
memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah
yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang
diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah
(muqiimash-sholat).

Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki
muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan
guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan
baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian,
dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)

Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman,
maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur
dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw
menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang
paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam
interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang
nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk
perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana
untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan
semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah
tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara
suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana,
sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta
kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang
mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia
akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat
mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan
secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul
amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan
beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih
merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila
muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri
dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada
anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga
kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari
kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun
bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)

Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati
(kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28.
“Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”.
Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi
oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada
Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan
Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar
dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu
memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal
quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam
dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam
segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah
dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus
dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan
keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan
dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq,
do’a, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat
menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh
anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa
dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup
berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan
yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu
tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah
bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita
sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah,
yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan
yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan
yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar,
silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak
keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang
dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah
menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi
hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di
dunia ini sebagai cobaan.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat,
dalam wujtd dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita
dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan
memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk
kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu
digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka
dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari
pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).

Inilah keberkahan yang hakiki.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/