ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a
keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah
memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan
kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang
mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak
keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak
fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga
setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di
kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam
pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat
materil ataupun non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari
permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu
dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat
beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya
sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak
membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah
berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya
orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi
wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin
sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam
berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam
aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi
keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam
kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung
dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home)
tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba.
Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah
tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga
sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi
(muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten
(istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap
mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan
biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT
sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai
sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS.
An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan
merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam
salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk
menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku”
(HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah
Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi)
pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh
Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih
mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya
(kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi
pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang
berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi
bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga
pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan
akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya
seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap
zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan
pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan
yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang
menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan
keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim
teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala
aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu
menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya
keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud
komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu
adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun
harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran
(fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga
masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian
suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di
antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala
hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat
dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki
kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian
(seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka
suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha
memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat
artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara
suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya
suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang
secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan
kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan
apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri,
begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk
memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3
(tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika
memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun
tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah
untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini
belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan
kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang
berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan”
kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk
memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam
kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang
tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan
jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri
atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan
kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian
(empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah
menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan
malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam
interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone,
email, dsb.
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu
berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam
QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi
yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan
bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan
keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap
tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal
kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut
dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan
seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana
sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala
menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk
menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung,
tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut
perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri,
tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami,
anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak
yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika
hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati,
bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang
menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran.
Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima
kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai
satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah
dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita
kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya
kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental
(asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak
berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas
Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih
banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan
berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni
neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada
suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami
seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu
membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal
dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan
anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal
masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan
semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan.
Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan
dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga
menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu
mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan
pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap
dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang
sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan,
sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS.
Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS.
Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan
yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang
memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah
yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang
diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah
(muqiimash-sholat).
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki
muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan
guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan
baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian,
dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman,
maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur
dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw
menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang
paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam
interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang
nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk
perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana
untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan
semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah
tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara
suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana,
sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta
kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang
mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia
akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat
mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan
secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul
amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan
beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih
merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila
muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri
dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada
anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga
kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari
kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun
bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati
(kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28.
“Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”.
Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi
oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada
Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan
Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar
dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu
memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal
quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam
dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam
segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah
dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus
dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan
keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan
dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq,
do’a, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat
menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh
anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa
dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup
berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan
yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu
tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah
bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita
sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah,
yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan
yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan
yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar,
silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak
keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang
dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah
menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi
hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di
dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat,
dalam wujtd dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita
dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan
memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk
kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu
digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka
dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari
pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar