Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
terlimpah kepada kita tiada terbilang hingga kita tidak mampu menghitungnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا
تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian ingin menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim: 34)
“Dan jika kalian ingin menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim: 34)
Dia Yang Maha Suci juga berfirman:
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ
ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Dan Dia telah mencurahkan nikmat-Nya yang lahir dan yang batin kepada kalian.” (Luqman: 20)
“Dan Dia telah mencurahkan nikmat-Nya yang lahir dan yang batin kepada kalian.” (Luqman: 20)
Di antara sekian banyak nikmat-Nya
adalah lisan atau lidah yang dengannya seorang hamba dapat mengungkapkan
keinginan jiwanya.
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ.
وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata, lisan, dan dua bibir?” (Al-Balad: 8-9)
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata, lisan, dan dua bibir?” (Al-Balad: 8-9)
Dengan lisan ini, seorang hamba dapat
terangkat derajatnya dengan beroleh kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya, ia juga dapat tersungkur ke jurang jahannam dengan sebab lisannya.
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ
بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ
اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 6478)
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 6478)
Dalam hadits yang lain disebutkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ
مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
“Sesungguhnya seorang hamba
mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan
kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia
dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara
masyriq/timur.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406, 7407)
Dalam riwayat Muslim:
أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ
“…lebih jauh daripada antara timur dan barat.”
“…lebih jauh daripada antara timur dan barat.”
Yang disesalkan dari keberadaan kita,
kaum hawa, sering menyalahgunakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa
lisan ini. Lisan dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan sehingga keluar darinya
kalimat-kalimat yang membinasakan pengucapnya. Ghibah, namimah, dusta,
mengumpat, mencela dan teman-temannya, biasa terucap.
Terasa ringan tanpa beban, seakan
tiada balasan yang akan diperoleh. Membicarakan cacat/cela seseorang,
menjatuhkan kehormatan seorang muslim, seakan jadi santapan lezat bagi yang
namanya lisan.
Padahal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
الْـمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْـمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161)
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan, “Kaum muslimin selamat dari lisannya di
mana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat mereka, tidak mengghibah dan
menyebarkan namimah di antara mereka, tidak menyebarkan satu macam kejelekan
dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar menahan lisannya. Menahan lisan
ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit bagi seseorang.
Sebaliknya, begitu gampangnya seseorang melepas lisannya.”
Beliau rahimahullahu juga menyatakan,
“Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar bahayanya bagi seseorang.
Karena itulah, bila seseorang berada di pagi harinya maka anggota tubuhnya yang
lain, dua tangan, dua kaki, dua mata dan seluruh anggota yang lain mengingkari
lisan. Demikian pula kemaluan, karena pada kemaluan ada syahwat nikah dan pada lisan
ada syahwat kalam (berbicara). Sedikit orang yang selamat dari dua syahwat ini.
Seorang muslim adalah orang yang kaum
muslimin selamat dari lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak
menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah,
tidak berbuat namimah dan tidak menebarkan permusuhan di antara manusia. Dia
adalah orang yang memberikan rasa aman kepada orang lain. Bila ia mendengar
kejelekan, ia menjaga lisannya. Tidak seperti yang dilakukan sebagian manusia -wal
‘iyadzubillah- bila mendengar kejelekan saudaranya sesama muslim, ia melonjak
kegirangan kemudian ia menyebarkan kejelekan itu di negerinya. Orang seperti
ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya).” (Syarh Riyadhish
Shalihin, 1/764)
Lisan yang berpenyakit seperti ini
banyak diderita oleh kaum hawa, sehingga mereka harus banyak-banyak
diperingatkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara
lisan mereka. Ketahuilah, karena bahayanya lisan bila tidak dijaga oleh
pemiliknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjamin surga bagi
orang yang dapat menjaga lisan dan kemaluannya.
Sahl bin Sa’d radhiyallhu ‘anhu
menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ
لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yaitu lisan)1 dan apa yang ada di antara dua kakinya (yaitu kemaluan)2 maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)
“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yaitu lisan)1 dan apa yang ada di antara dua kakinya (yaitu kemaluan)2 maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)
Bila engkau tidak dapat berkata yang baik, maka diamlah niscaya itu lebih
selamat.
Karenanya, Rasul yang mulia
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim)
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim)
Al-Imam Al-Hakim rahimahullahu
meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallhu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke bibirnya dan
berkata:
الصُّمْتُ إِلاَّ مِنْ خَيْرٍ. فَقَالَ
لَهُ مُعَاذٌ: وَهَلْ نُؤَاخَذُ بِمَا تَكَلَّمَتْ بِهِ أَلْسِنَتُنَا؟ فَضَرَبَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَخِذَ مُعَاذٍ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُعَاذُ،
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ -أَوْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ مِنْ ذَلِكَ- وَهَلْ
يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ فِي جَهَنَّمَ إِلاَّ مَا نَطَقَتْ بِهِ
أَلْسِنَتُهُمْ؟ فَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ عَنْ شَرٍّ، قُوْلُوْا خَيْرًا تَغْنَمُوا وَاسْكُتُوْا عَنْ
شَرٍّ تَسْلَمُوْا
“Diamlah kecuali dari perkataan yang baik.” Mu’adz bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita?”
“Diamlah kecuali dari perkataan yang baik.” Mu’adz bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memukul paha Mu’adz, kemudian bersabda,
“Wahai Mu’adz, ibumu kehilangan
kamu3″, atau beliau mengucapkan kepada Mu’adz apa yang Allah kehendaki dari
ucapan. “Bukankah manusia ditelungkupkan di atas hidung mereka ke dalam
jahannam tidak lain disebabkan karena apa yang diucapkan oleh lisan-lisan
mereka? Karenanya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia
berkata baik atau ia diam dari berkata yang jelek. Ucapkanlah kebaikan niscaya
kalian akan menuai kebaikan dan diamlah dari berkata yang jelek niscaya kalian
akan selamat.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul
Musnad, 1/460)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
menasihatkan, “Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau
satu kalimat, ia merenungkan dan memikirkan kata/kalimat tersebut dalam jiwanya
sebelum mengucapkannya. Bila memang tampak kemaslahatan dan kebaikannya maka ia
berbicara. Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan lisannya.” (Al-Minhaj, 18/318)
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali
rahimahullahu dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/339-340) menukilkan
ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu berkata, “Siapa yang banyak bicaranya akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.”
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu berkata, “Siapa yang banyak bicaranya akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallhu
‘anhu memegang lisannya dan berkata, “Ini yang akan mengantarkan aku ke
neraka.”
Ibnu Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk dipenjara dalam waktu yang panjang daripada lisan.”
Ibnu Mas’ud radhiyallhu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk dipenjara dalam waktu yang panjang daripada lisan.”
Ingatlah saudariku, firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا
لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu
menukilkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhuma tentang ayat di atas,
“Malaikat itu mencatat setiap apa yang diucapkannya berupa kebaikan ataupun
kejelekan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/308)
Ingatlah, semuanya tercatat dan
tersimpan dalam catatan amalmu. Maka berbahagialah engkau bila catatan amalmu
dipenuhi dengan kebaikan, ucapan yang baik dan amal shalih. Tentunya janji Allah
Subhanahu wa Ta’ala berupa surga kan menanti…
Sebaliknya celaka engkau bila catatan
amalmu dipenuhi ucapan kosong, sia-sia lagi mengandung dosa dan amal yang
buruk. Tentunya ancaman neraka menanti…
Bila demikian keadaannya ke mana
engkau hendak menuju, ke surga ataukah ke neraka? Tentu tanpa ragu engkau ingin
menjadi penghuni surga.
Maka, jangan biarkan
lisanmu menggelincirkanmu ke dalam jurang kebinasaan yang tiada bertepi.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Oleh : Al-Ustadzah
Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sumber : http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar