Allah Mengajarkan Cinta
Cinta adalah salah satu pesan agung yang Allah sampaikan kepada umat manusia sejak awal penciptaan makhluk-Nya. Dalam salah satu hadis yang diterima dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ''Ketika Allah mencipta makhluk-makhluk-Nya di atas Arsy, Dia menulis satu kalimat dalam kitab-Nya, 'Sesungguhnya cinta kasihku mengalahkan amarahku'.''(HR Muslim). Atau dalam versi yang lain, ''Sesungguhnya cinta kasihku mendahului amarahku.'' (HR Muslim).
Dalam kehidupan manusia, cinta sering direfleksikan dalam bentuk dan tujuannya yang beragam. Ada dua bentuk cinta. Pertama, cinta karena Allah. Kedua, cinta karena manusia. Seseorang yang mencintai orang lain karena Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mengarahkan cinta itu sebagai media efektif untuk saling memperbarui dan saling introspeksi diri, sudah sejauh mana pengabdian kita kepada Allah. Cinta model ini akan berujung pada kepatuhan total dan ketundukan tulus, bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata karena pembuktian cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seseorang yang mencintai orang lain karena manusia, akan banyak menimbulkan persoalan serius. Cinta ini sifatnya singkat, karena cinta model ini biasanya muncul karena dorongan material dan hawa nafsu. Dua hal yang sering membuat manusia lalai dalam kenikmatan duniawi.
Rabi'ah al-Adawiyah, seorang tokoh sufi terkemuka, suatu ketika pernah berlari-lari di jalan sambil membawa seember air dan api. Ketika ditanya oleh seseorang tentang apa yang sedang dilakukannya, Rabi'ah tegas menjawab bahwa ia membawa air untuk menyiram api neraka, dan membawa api untuk membakar surga. Rabi'ah memberikan alasan, bahwa hanya karena niat ibadah untuk memperoleh surga dan terhindar dari api neraka inilah, kebanyakan manusia melupakan tujuan hakiki ibadahnya. Padahal, ibadah bukanlah bertujuan untuk memperoleh surga atau menghindari neraka. Ibadah merupakan bentuk cinta tulus ikhlas kepada Allah semata.
Pergaulan hidup juga mesti dilandasi cinta. Dengan itu, kehidupan akan berjalan harmonis dan langgeng. Cinta yang diajarkan Allah SWT adalah cinta yang berujung pada keabadian, karena Allah sendiri adalah Zat yang abadi dan tak pernah rusak. Maka, keabadian, keharmonisan, dan kesejahteraan umat manusia akan tercapai jika cinta yang ada pada diri manusia ditujukan semata-mata karena Allah. Allah SWT sendiri yang mengingatkan manusia, bahwa Dia tidak akan pernah mendahulukan amarah-Nya. Cinta Allah yang menyebar di alam semesta inilah yang menjadi bukti bahwa keharmonisan itu benar-benar terjadi.
Seseorang yang tidak melakukan cinta model yang Allah SWT ajarkan tidak akan berhasil mendapatkan cinta Allah. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang tidak mencintai manusia, maka ia tidak akan Allah cintai.'' (HR Al-Bukhari). Model cinta yang Allah ajarkan adalah cinta tertinggi, kerena selain berakibat pada kebahagiaan abadi di akhirat, imbasnya bagi kehidupan dunia pun akan terasa. Wallahu a'lam.
Kisah Segelas Susu Suatu hari, Khalifah Abu Bakar al-Shidiq kembali dari pasar.
Di rumah, beliau melihat segelas susu murni di atas meja. Karena rasa haus akibat aktivitas yang melelahkan, beliau meminum susu tersebut tanpa curiga sedikit pun tentang asal-usul segelas susu tersebut. Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, ''Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi langsung meminumnya?'' Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, ''Memangnya susu ini dari mana?'' Pembantunya menjawab, ''Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang.
Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia tidak sanggup membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat akan membayar. Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu sebagai bayaran untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.'' Mendengar itu, langsung Abu Bakar memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut dan mengoyang-goyangkan anak lidah agar muntah. Beliau berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari perutnya, dan tidak ingin sedikit pun tersisa.
Bahkan dalam riwayat itu disebutkan, beliau sampai pingsan karena berusaha memuntahkan seluruh susu yang telanjur beliau minum dan berkata, ''Walaupun saya harus mati karena mengeluarkan susu ini dari perut saya, saya rela.'' Banyak disebutkan dalam kisah para sahabat Nabi, para salafu al shalih sangat menjaga setiap makanan dan minuman sebelum masuk ke dalam perut. Ketika mereka sudah benar-benar yakin bahwa makanan tersebut halal seratus persen, barulah mereka berani memakannya, tapi kalau masih berbau syubhat apalagi haram mereka tidak mau memakannya, walaupun harus kelaparan.
Para salafu al shalih sangat takut kepada hadis Nabi, ''Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka api neraka lebih pantas untuknya.'' Di samping itu, mereka sangat yakin bahwa makanan adalah sumber tenaga dan inspirasi untuk tubuh dan otak.
Makanan yang halal akan membuat tubuh gampang untuk melaksanakan ibadah. Kehati-hatian mereka juga untuk keluarga. Mereka tidak mau memberi makanan yang haram kepada keturunannya agar melahirkan sifat terpuji, karena yakin ketika keluarga diberi makanan yang haram, jangan diharapkan istri dan anak kita akan membawa kedamaian di tengah keluarga. Sang anak dan istri akan jauh dari sifat shalih dan shalihah. Istri-istri di zaman sahabat dan salaf al shalih selalu berpesan kepada suaminya sebelum berangkat kerja, ''Wahai suamiku, kami kuat menahan lapar, tapi tidak kuat terhadap api neraka, carilah rezeki yang halal untuk kami.''
Tidak ada komentar:
Posting Komentar