Jumat, 26 Agustus 2011

Kemenangan



Rasulullah saw terbiasa ‘mengencangkan ikat pinggangnya’ di bulan Rajab, dan lebih dikencangkannya lagi di bulan Sya’ban. Memasuki bulan Ramadhan, ibadahnya semakin getol, dan mencapai klimaksnya pada 10 hari terakhirnya. Bisa dibayangkan, betapa ‘kencangnya ikat pinggang’ Rasulullah saw ketika menjelang 1 Syawal.


Konon, mereka yang beribadah secara optimal di bulan Ramadhan akan menjumpai fajar di Hari Raya ‘Idul Fitri dalam keadaan bersih tanpa dosa layaknya bayi yang baru lahir. Karena bayi yang baru lahir dinyatakan bersih suci dan sesuai dengan fithrah-nya, maka orang pun mengatakan bahwa mereka yang ibadah Ramadhan-nya sukses akan kembali ke fithrah-nya.


Di Indonesia, gegap gempita Hari Raya ‘Idul Fitri bukan dimulai pada malam takbiran atau sepuluh hari terakhir Ramadhan, melainkan sudah bergemuruh sejak 1 Ramadhan, bahkan lebih awal lagi. Semua orang mabuk kemenangan, seolah-olah kemenangan sudah di tangan. Belum masuk bulan Ramadhan, iklan-iklan di televisi sudah mewanti-wanti agar kita jangan sampai ‘gagal’ merayakan ‘Hari Kemenangan’. Insya Allah kita semua akan kembali ke fithrah, dan jangan sampai tidak dirayakan!


Definisi “Hari Raya” pun bergeser dari yang tadinya bermakna “Hari Besar” atau “Hari yang Dimuliakan” menjadi “Hari Berlangsungnya Perayaan”. Semua orang harus merayakan, karena menurut prediksi mutakhir, semuanya memperoleh kemenangan. Karena itu, semuanya harus berusaha sekeras-kerasnya agar bisa ikut serta dalam perayaan akbar sejagat ini.


Nun jauh di pedesaan, ada banyak petani yang harus memeras akalnya dengan cepat lantaran sawah ladangnya kekeringan. Musim kemarau tahun ini memang cukup dahsyat. Untunglah mereka tidak habis akal, sehingga menurut surat kabar, banyak di antara mereka yang banting setir. Sekarang mereka menjajakan makanan, sekedar gorengan dan kopi untuk para supir truk yang berhenti sejenak dalam perjalanan panjangnya. Tidak seberapa hasilnya, tapi cukup untuk hidup. Toh, ketika menjadi petani pun pemasukannya tidak seberapa juga. Untuk perjuangannya yang tak kenal putus asa itu, tersebutlah sebuah alasan ‘bagus’ yang dicatat oleh pena wartawan: “Kerja apa sajalah, yang penting bisa tetap lebaran!”

Tidak jelas juga apakah sang (mantan) petani itu sudah mempertimbangkan masak-masak untuk mengubah kata “lebaran” dari kata benda menjadi kata kerja. Apa maksudnya “tetap (ber)lebaran”? Kalau dikembalikan pada makna asalnya, “lebaran” itu tidak lain adalah 1 Syawal. Tapi kalau sudah jadi kata kerja, umumnya orang memaknainya sebagai kegiatan berbelanja segala hal yang serba baru untuk keperluan merayakan ‘Idul Fitri. Begitu hebatnya daya juang masyarakat ini, hanya demi merayakan Hari Kemenangannya!

Lalu siapakah yang mempersiapkan kemenangannya?


Bicara soal kemenangan, kita akan selalu bicara dalam kerangka waktu tertentu. Kalau kita bicara pada tahun 1942 dan melihat ke belakang, bisa saja kita mengarang kisah yang mengharu-biru tentang dahsyatnya perjuangan NAZI hingga mencapai kejayaan yang nyaris melingkupi seluruh daratan Eropa. Tapi kalau sudah sampai tahun 1945 dan setelahnya, maka Hitler dan kroni-kroninya hanya menjadi salah satu lembar hitam ironi terbesar dalam sejarah dunia; betapa kepemimpinan yang sedemikian dahsyat tersia-siakan begitu saja karena ambisi yang keji. Bertahun-tahun lamanya kaum musyrikin di Mekkah digjaya, mungkin saja ada yang mencibir Rasulullah saw dan para sahabatnya sebagai orang yang terusir hingga lari ke Ethiopia dan ke Yatsrib. Tapi kalau rentang waktu analisisnya diperpanjang, maka justru umat Islam-lah yang kemudian tampil sebagai pemenang.


Mungkin pemahaman keagamaan kita telah dipengaruhi oleh kisah-kisah leluhur yang gemar bertapa. Mereka siksa tubuh mereka berhari-hari, bahkan hingga puluhan hari, lalu tiba-tiba saja kesaktiannya sudah naik tingkat, dan kemajuannya ini irreversible. Dengan berbagai ritual yang berat, pada suatu waktu maqam­-nya akan naik satu level.


Barangkali demikianlah gambaran Ramadhan dalam benak sebagian umat Islam. Ramadhan adalah waktu sebulan penuh untuk menyiksa diri, melaksanakan berbagai ibadah yang tidak ada pada bulan-bulan lainnya, mengoptimalkan sebisanya, sehingga pada 1 Syawal kita semua bisa tampil sebagai pemenang. Lulus Ramadhan! Naik tingkat! Menang!


Mari kembalikan segalanya pada konsepsi yang benar. Hidup yang singkat ini adalah rangkaian dari peperangan kita melawan godaan syetan dan hawa nafsu. Hanya ada satu kemenangan sejati, yaitu ketika kedua kaki kita sudah menapak masuk ke dalam pintu surga; pintu yang mana pun itu! Tentu saja, sangatlah manusiawi jika kita membagi-bagi waktu hidup kita ke dalam unit-unit waktu yang lebih pendek dan target-target yang lebih dekat. Oleh karena itu, wajar pula jika kita memaknai waktu-waktu hidup kita dengan berbagai ‘kemenangan kecil’. Akan tetapi, kemenangan kecil yang satu tidak boleh dipisahkan dengan misi kecil berikutnya, karena hidup ini adalah sebuah misi besar yang tak bisa berakhir sebelum datangnya ketentuan Allah SWT.


Menang atau tidaknya kita di bulan Ramadhan akan dibuktikan pada 1 Syawal dan sesudahnya. Sulit untuk dikatakan berhasil jika kita mengencangkan ikat pinggang di bulan Rajab, lebih mengencangkannya lagi di bulan Sya’ban, dan semakin mengencangkannya lagi di bulan Ramadhan, kemudian membuang ikat pinggang itu jauh-jauh begitu adzan Maghrib pertama di bulan Syawal berkumandang. Sulit untuk dikatakan menang jika kita membiarkan Ramadhan berlalu tanpa meninggalkan barang satu-dua ‘oleh-oleh’ untuk kita. Banyak yang sudah apik menata Ramadhan dengan berbagai target; tilawah 1-2 juz per hari, Shalat Dhuha 8 rakaat, qiyamullail setiap malam, Shalat Sunnah Rawatib tidak pernah ketinggalan dan seterusnya. Alangkah apiknya jika kita sudah menyiapkan target-target pasca Ramadhan kita. Sunnah apa yang akan kita jadikan kebiasaan, mulai dari 1 Syawal? Kebiasaan jelek apa yang akan kita tinggalkan, mulai dari 1 Syawal? Adalah manusiawi jika ikat pinggang kita kendurkan setelah bulan Ramadhan, tapi amatlah menyedihkan kalau amal-amal kita harus kembali lagi ke level Jumadil Akhir sebelumnya, atau bahkan lebih buruk daripada itu.
Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi pemenang. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar